SERAYUNEWS– Seorang netizen, Erasmus Napitupulu, melalui akun X pribadinya @Erasmus70, pada 28 Februari 2024 mengunggah kata-kata yang menyentuh.
Jejak dibunuh terang-terang
Kebenaran dikubur dalam-dalam
Tak pernah disidang
Jenderal 4 bintang
Negara kalah.
Kemudian, sontak teringat kumpulan puisi Wiki Thukul, Para Jendral Marah-marah yang gamblang menyebut kata Letnan Jendral dalam bait puisinya. Selanjutnya, apakah Jenderal Bintang Empat yang Erasmus maksud orangnya sama dengan Letnan Jendral yang Wiji tulis?
Berikut petikan puisi Para Jenderal Marah-marah.
Pagi itu kemarahannya disiarkan
oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku
yang menonton. Istriku kaget. Sebab
seorang letnan jenderal menyeret-nyeret
namaku. Dengan tergopoh-gopoh
selimutku ditarik-tarik. Dengan
mata masih lengket aku bertanya:
mengapa? Hanya beberapa patah kata
keluar dari mulutnya: “Namamu di
televisi….”
Maka dari itu, secara jelas puisi tersebut menggambarkan ketidakadilan yang individu tak berdaya alami, seperti penyair dalam puisi ini. Seorang letnan jenderal dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya dengan menyeret-nyeret nama penyair. Oleh karena itu, ini menciptakan gambaran yang kuat tentang ketidakadilan dalam masyarakat.
Kumpulan puisi Para Jendral Marah-marah terdiri dari 3 bagian, yaitu Puisi Pelarian (21 puisi), Puisi Jawa (12 puisi), dan Puisi Lepas (16 puisi). Kemudian, Wiji Thukul menggunakan bahasa sederhana dan narasi yang langsung, yang memungkinkan pembaca untuk merasakan ketidaknyamanan dan ketegangan yang penyair alami. Selain itu, penggunaan kata-kata sederhana menciptakan kesan kejadian ini sebagai sesuatu yang nyata dan dekat dengan keseharian.
Saat buron, Wiji Thukul masih bisa berdamai dengan keadaan sehingga dia masih bisa melontarkan candaan lewat puisinya : hujan malam ini turun/ untuk melindungiku/ intel-intel yang bergaji kecil/ pasti jengkel….
Selanjutnya, nama asli penyair ini adalah Wiji Widodo. Selain itu, dia lahir di Solo 26 Agustus 1963. Kemudian, pada 1998 Wiji Thukul menghilang dan sampai sekarang tidak keberadaannya tidak ada yang tahu.
Oleh karena itu, saat jadi buronan, Wiji berterus-terang tidak membutuhkan lagi metafora, jelas terlihat dalam puisi berjudul Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek –biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku –4 th– melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA
Jika frasa letnan jenderal yang malampaui waktu, kemudian menjadi Jenderal Bintang Empat, Wiki juga melampaui waktu ketika membuat puisi berjudul Tuntutan.
rakyat adalah kami
daun telinga yang mendengar
mata kepala yang bersaksi
: sekarang beras mahal.
kini kami tuntut
kalian di mana?
Sementara itu, penggalan puisi yang menyebut beras mahal seolah menyadarkan kita, kalian di mana? *** (O Gozali)