SERAYUNEWS– Pengamat Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Ahmad Sabiq membeberkan, politik uang dalam kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) seakan tak ada matinya. Dari waktu ke waktu praktik politik kotor ini terus mencemari pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Menurutnya, politik uang termasuk turut mengguratkan warna kelam pada penyelenggaraan Pemilu Serentak. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), politik uang mendominasi kasus pelanggaran pidana pemilu pada Pilkada Serentak gelombang pertama.
“Dari 1.090 kasus, 929 adalah pengaduan terkait politik uang (85 persen). Dari jumlah tersebut hanya tiga kasus atau 0.3 persen yang diproses sampai ke pengadilan. Pada akhirnya pun tidak ada yang terkena sanksi,” ungkapnya kepada serayunews.com, Jumat (2/2/2024).
Mengapa politik uang terus saja terjadi? Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed Purwokerto itu memberikan pandangannya. Pertama, adanya semacam kepercayaan yang tertanam dalam diri banyak kandidat bahwa politik uang akan menjamin keterpilihan mereka.
Sejumlah politisi yang berkualitas ternyata memberi pengakuan serupa. Mereka tak bisa meninggalkan politik uang. Politik uang dipercaya sebagai bagian dari aspek security. Upaya mengamankan suara mereka di saat-saat akhir. Dalam pandangan mereka, aspek popularity, likeability, acceptability, dan electability saja tidak cukup.
“Meskipun memiliki kedikenalan yang bagus, disukai, diterima, dan tingkat keterpilihannya tinggi, tanpa bagi-bagi uang kantong suara mereka dirasa tak aman. Walhasil, lanjut dia, muncul perasaan tidak ‘secure’ jika tidak ikut arus praktik wuwur,” jelasnya.
Alasan kedua, adanya persepsi di kalangan pemilih bahwa politik uang adalah hal yang lumrah. Berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2013, ternyata 71,72 persen masyarakat menganggap politik uang itu adalah wajar.
Survei yang dilakukan di Dapil Jateng VIII pada tahun 2009 juga menyatakan hal yang sama. Meskipun masih lebih banyak pemilih yang menganggap politik uang sebagai hal yang tak pantas (52 persen). Namun demikian, publik yang menganggap pemberian politik uang sebagai perilaku umum ataupun hal yang normal lumayan signifikan.
Ketiga, selalu ada celah dari regulasi yang mengatur pilkada bagi berlakunya praktek politik uang. Pengaturannya terus mengalami revisi namun terus saja menyediakan lobang yang memberi angin segar bagi pelaku politik transaksional.
“Undang-undang Pilkada saat ini juga tak begitu meyakinkan dapat memberantas politik uang. Meski di satu sisi memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk bisa langsung memeriksa dan memutus sanksi bagi pelaku politik uang, namun di sisi lain undang-undang membuka celah politik uang menjadi legal,” terang dia.
Dalam penjelasan undang-undang ini, justru pemberian uang makan, uang transportasi, serta hadiah bagi peserta kampanye tidak masuk dalam politik uang. Dia menilai, ini sungguh aneh. Dari segi regulasi, terasa ada kesengajaan untuk membuat penanganan politik uang senantiasa jalan di tempat.