SERAYUNEWS – Dinamika MK vs DPR terkait Pilkada mendapat reaksi besar dari masyarakat. Tidak terkecuali di Kabupaten Banyumas, berbagai kelompok pun melakukan aksi dan pernyataan sikap. Mereka menolak revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR yang tak selaras dengan putusan MK.
Sekitar pukul 13.00 wib, kelompok akademisi yang menamai Laskar Soedirman, terdiri dari dosen, guru besar, mahasiswa, tenaga kependidikan dan almumni Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto menggelar menyatakan sikap di depan kantor pusat kampus tersebut.
Di lokasi lain, sekitar pukul 13.30 WIB, puluhan anggota Gerakan Marhaenis (GEMA) Indonesia Kabupaten Banyumas, juga menggelar aksi dan menyerukan pernyataan sikap, di depan gerbang Pendopo Si Panji Purwokerto.
Kegiatan yang belum berakhir, kemudian disusul ribuan mahasiswa dari berbagai universitas yang ada di Purwokerto, di lokasi yang sama. Semua kelompok tersebut melakukan aksi terkait upaya DPR mengabaikan putusan MK dengan cara merevisi Undang-undang Pilkada.
Suasana aksi yang awalnya landai tiba tiba berubah pukul 16.30 WIB, suasana memanas. Aksi lempar botol minuman pun sempat terjadi. Suasana semakin tegang saat terjadi dorong mendong, ketika massa memaksa masuk gerbang. Mereka pun sempat membakar ban sebagai bentuk kekecewaan.
Namun, sampai pukul 17.36 WIB, barisan aparat kepolisian yang menjaga gerbang Pendopo masih rapat. Massa gagal menembus masuk ke gedung DPRD. Meski demikian, mereka masih bertahan di depan dan terus melakukan orasi.
Dinamika MK vs DPR memantik reaksi publik yang luar biasa. Publik marah karena DPR dinilai tak patuh pada putusan MK terkait Pilkada.
MK memutuskan mengubah syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon di Pilkada. Mulanya di UU Pilkada sebelum diuji di MK, syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon kepala daerah adalah memiliki 20 persen kursi di DPRD.
Syarat itu membuat banyak parpol kesulitan mengusung calon sendiri. Sebab, faktanya sangat jarang ada parpol mampu menguasai kursi DPR sampai 20 persen.
Kemudian MK dalam putusannya mengubah syarat. Syarat parpol untuk mengajukan calon kepala daerah adalah memiliki suara dengan kuota tertentu dalam pileg terakhir secara berjenjang.
Contohnya jika ada daerah yang memiliki pemilih 8 sampai 12 juta, maka syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon kepala daerah adalah memiliki 7,5 persen suara di pileg terakhir. Untuk daerah yang memiliki pemilih lebih dari 12 juta, syaratnya adalah 6,5 persen suara di pileg terakhir.
Putusan MK itu lebih ringan dan memungkinkan banyak calon berkontestasi di Pilkada.
Tak hanya itu MK juga memutuskan syarat calon untuk bisa ikut pilkada gubernur adalah berusia 30 tahun saat mendaftar. Putusan MK ini berbeda dengan putusan MA yang berpendapat bahwa usia minimal calon gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan.
Kemudian, atas putusan MK terkait syarat parpol dan calon, DPR ditengarai tak akan mengikutinya. DPR ditengarai akan mengabaikan putusan MK dengan cara merevisi UU Pilkada. DPR juga ditengarai akan memakai putusan MA yang bisa berdampak lolosnya Kaesang Pangarep anak Presiden Jokowi, dalam kontestasi Pilkada provinsi.
Respons DPR yang ingin mengabaikan putusan MK dan merevisi UU Pilkada itulah yang memantik protes besar-besaran. Belakangan DPR pun tak bisa mengesahkan revisi UU Pilkada karena tidak kuorum.
Masyarakat sampai saat ini terus mengawal agar DPR membatalkan revisi UU Pilkada yang mengabaikan putusan MK.