SERAYUNEWS – Belum banyak yang mengetahui, kisah akhir hayat dari seorang Raden Ajeng (RA) Kartini. Tokoh emansipasi wanita yang tanggal lahirnya, yakni 21 April 1879 diperingati sebagai Hari Kartini.
Namun, perjalanan hidup yang berlika-liku berjalan cukup singkat. Ia wafat atau tutup usia di umur yang tergolong masih muda yaitu 25 tahun. Selain itu, dalam kondisi usai beberapa hari melahirkan anaknya.
Lantas, bagaimanakah kisah akhir hayat dari RA Kartini? Simak ulasan selengkapnya pada artikel berikut ini dari tim serayunews.com untuk Anda.
Semula, pernikahan keduanya direncanakan pada 12 November 1903, akan tetapi atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903.
Tiga hari setelah pernikahan, Kartini pindah ke Kabupaten Rembang untuk memulai hidup baru sebagai seorang ibu. Kartini harus membagi waktu untuk suami dan anak-anaknya.
Aktivitas keseharian Kartini mulai terhambat setelah mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit.
Selanjutnya, tanggal 7 September 1903 Kartini sempat menulis surat kepada Nyonya Abendanon yang sudah mengirimkan hadiah
untuk bayinya nanti. Kartini menceritakan kondisi kehamilannya, yang menurutnya tidak akan lama segera lahir seorang anak darinya.
Tepat, tanggal 13 September 1903 Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.
Sementara itu, tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah, dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Berita duka datang pada 17 September 1903, akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun.
“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota” (Soeroto, 1977: 178).