Andy F Noya dengan gayanya yang khas, cerdas dan diselingi candaan renyah, mengajak para jurnalis merenung. Sabtu (17/10/2020) di Hotel Aston Purwokerto, pria yang mencuat karena acara Kick Andy itu berbicara tentang “Tantangan Jurnalistik Saat Ini dan ke Depan”. Acara itu diadakan oleh Bank Indonesia (BI) Purwokerto.
Lelaki yang kini berusia 61 tahun itu bercerita, di masa lalu dirinya pernah menjadi wartawan Majalah Tempo. Kala itu, media massa cetak sangat perkasa karena pemasukan yang didapatkan cukup besar. Bahkan, tim redaksi harus bersitegang dengan tim iklan. Tahu sendiri kan? Jika iklan terus bertambah, maka porsi berita berkurang. Maka, tim redaksi pun meradang.
Tapi itu cerita dahulu. Kini, pelan tapi pasti media cetak seperti menemui masa senjanya. Beberapa media cetak gulung tikar karena tak mampu menggaji karyawannya,
“Lalu, posisi media mainstream itu saat ini di mana?” tanya Andy.
Andy memiliki pandangan bahwa cerita sedih media cetak itu bisa merembet ke media radio dan televisi. Tiga media tersebut akan tertelan zaman jika tak adaptasi dengan perubahan zaman. Namun, Andy pun sangsi jika media mainstream beradaptasi, akan otomatis tetap bertahan di zaman yang makin maju ini.
Kenapa Andy sangsi? Ya karena saat ini sudah banyak orang yang menjadi jurnalis amatir.
“Sekarang orang pegang handphone. Nulis sedikit, upload di media sosial. Lalu posisi kita (jurnalis) di mana?” katanya. Selain didesak teknologi, media juga didesak oleh jurnalis amatir.
Tapi, Andy mengatakan, ketika semua orang bisa menjadi jurnalis amatir, seorang jurnalis tetap memiliki kelebihan. Sebab, jurnalis tak akan menulis berita bohong atau hoaks karena terikat kode etik.
Sekali lagi, Andy mengatakan bahwa perkembangan teknologi menjadi tantangan utama jurnalistik saat ini. Baginya, bergerak cepat, merupakan langkah yang bijak, meski berbeda gaya. Namun, lambat laun akan diterima. Karena perkembangan teknologi juga bersinggungan dengan perkembangan generasi pembaca. Menurutnya, pembaca milenial saat ini sudah ogah-ogahan untuk membaca koran. Tinggal menggunakan handphone, mereka yakin bisa mengakses segala informasi.
Sementara, Kepala BI Purwokerto Samsun Hadi juga berbagi soal makin tergerusnya media cetak. Dia mengatakan, dahulu jumlah halaman koran bisa sangat tebal, tapi kini sudah mulai menipis.
“Dulu ada yang sampai 32 halaman, sekarang hanya sampai 16 halaman,” katanya.
Dia pun mengatakan bahwa anak masa kini sudah tak membaca koran. Mereka lebih memilih menggunakan handphone.
“Seperti anak saya, mereka mengaku mengetahui perkembangan zaman ataupun pemberitaan selalu melalui handphone-nya. Karena semua sudah ada di situ,” kata dia.