
SERAYUNEWS – Istilah mens rea belakangan ini semakin sering terdengar dalam diskursus hukum pidana di Indonesia. Lantas, apa itu Mens Rea?
Konsep ini kerap menjadi bahan perdebatan dalam berbagai forum akademik maupun praktik penegakan hukum, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pembuktian di persidangan.
Tidak sedikit pula masyarakat awam yang mulai bertanya-tanya, apa itu mens rea dan mengapa konsep ini begitu penting dalam hukum pidana?
Artikel ini akan mengulas secara runtut mengenai pengertian mens rea, kedudukannya dalam sistem hukum pidana, serta bagaimana penerapannya dalam praktik peradilan pidana di Indonesia.
Secara letterlijk, mens rea berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran yang salah”.
Dalam perkembangan teori hukum pidana modern, istilah ini kemudian dipahami sebagai niat jahat atau keadaan batin seseorang ketika melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.
Paul H. Robinson mendefinisikan mens rea sebagai “guilty mind” atau dalam bahasa Indonesia berarti “pikiran bersalah”.
Sementara itu, Eugene J. Chesney menggunakan istilah “mental element” sebagai padanan mens rea untuk menekankan pentingnya unsur kesadaran mental pelaku sebelum melakukan suatu perbuatan.
Paul H. Robinson juga menjelaskan bahwa mens rea adalah “state of mind” atau keadaan pikiran seseorang.
Dari berbagai pendapat ahli tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa mens rea selalu berkaitan dengan elemen mental atau kondisi batin pelaku pada saat melakukan perbuatan pidana.
Dalam salah satu diskusi hukum, muncul pertanyaan menarik: karena mens rea tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, apakah penerapannya dalam hukum pidana menjadi tidak wajib?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting memahami struktur hukum sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Mahfud MD. Menurutnya, struktur hukum terdiri dari tiga tingkatan.
Pertama adalah filsafat, yakni pemikiran mendasar mengenai hakikat hukum.
Kedua adalah asas, yaitu prinsip-prinsip fundamental yang menjadi jiwa dari hukum.
Ketiga adalah norma, berupa aturan tertulis yang mengikat dan dapat disertai sanksi.
Dalam kerangka tersebut, mens rea berada pada tingkat asas, khususnya asas hukum pidana.
Artinya, meskipun tidak selalu tertulis eksplisit dalam norma undang-undang, mens rea berfungsi sebagai pisau analisis dalam menilai apakah suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak.
Konsep mens rea tidak dapat dilepaskan dari asas fundamental hukum pidana.
Prof. Sahetapy menyatakan bahwa suatu criminal act terdiri dari dua unsur utama, yakni actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat jahat).
Dengan kata lain, suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila dilakukan dengan niat jahat.
Pendapat senada juga disampaikan Prof. Mahfud MD yang menegaskan bahwa seseorang baru dapat dihukum apabila memiliki niat jahat atau mens rea.
Dua pandangan ini menegaskan bahwa keberadaan mens rea bersifat wajib untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang.
Hal ini sejalan dengan asas klasik hukum pidana “Geen Straf Zonder Schuld”, yang berarti tidak ada pidana tanpa kesalahan.
Kesalahan (schuld) sendiri dimaknai sebagai celaan masyarakat terhadap perbuatan menyimpang yang seharusnya dapat dihindari oleh pelaku.
Salah satu contoh konkret penerapan mens rea dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 980 K/Pid.Sus/2015.
Dalam perkara ini, terdakwa Hendra Saputra, yang sehari-hari bekerja sebagai office boy dengan latar belakang pendidikan tidak tamat SD, diangkat sebagai Direktur Utama PT Imaji Media.
Dalam praktiknya, jabatan tersebut hanya bersifat formalitas.
Perusahaan kemudian terlibat dalam kasus pengadaan videotron yang merugikan negara sebesar Rp5,393 miliar.
Pengadilan tingkat pertama menyatakan terdakwa bersalah, namun Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut.
Majelis kasasi berpendapat bahwa perbuatan terdakwa memang terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana karena tidak terdapat mens rea.
Terdakwa dinilai tidak memiliki niat jahat, tidak memahami sepenuhnya perbuatannya, tidak menikmati hasil kejahatan, serta hanya diperalat oleh pihak lain yang mengendalikan perusahaan secara de facto.
Seiring perkembangan zaman, jenis dan modus kejahatan semakin kompleks, melibatkan prosedur administratif, struktur korporasi, hingga sistem birokrasi pemerintahan.
Dalam kondisi seperti ini, tidak semua orang yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum dapat serta-merta dipidana.
Parameter objektif yang harus dinilai adalah ada atau tidaknya mens rea.
Penelusuran niat jahat dapat dilakukan dengan melihat apakah terdapat keuntungan pribadi, motif tersembunyi, atau kesadaran penuh dalam melakukan perbuatan tersebut.
Joshua Kleinfeld menyatakan bahwa mens rea atau guilty mind adalah “architectural feature of criminal law”, yakni fondasi utama hukum pidana.
Hal ini dipertegas dengan adagium “actus non facit reum nisi mens sit rea”, yang berarti suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah tanpa niat yang bersalah.
Memahami apa itu mens rea menjadi semakin penting dalam praktik penegakan hukum pidana modern.
Konsep ini berfungsi sebagai pengaman agar hukum pidana tetap digunakan secara hati-hati sebagai ultimum remedium.
Dengan demikian, hanya mereka yang benar-benar memiliki niat jahatlah yang layak dijatuhi pidana, sementara pihak yang tidak memiliki mens rea tidak boleh dihukum.***