SERAYUNEWS- Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di Indonesia, muncul diskusi mengenai penerapan restorative justice terhadap kasus penghinaan presiden.
Pasal 77 dalam draf RUU KUHAP menjadi sorotan karena mengatur apakah tindak pidana tertentu, termasuk penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, dapat terselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Penerapan pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP telah menjadi topik kontroversial sejak lama.
Pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional dan tidak boleh masuk kembali dalam revisi KUHP.
MK menilai bahwa pasal tersebut berpotensi menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Meskipun demikian, pemerintah dan DPR tetap mempertahankan pasal tersebut dengan alasan untuk melindungi martabat dan kehormatan presiden.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyatakan bahwa pasal ini perlu untuk mencegah penghinaan yang merendahkan presiden, tapi tidak bermaksud untuk membungkam kritik terhadap kebijakan presiden.
Restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang menekankan pemulihan keadaan bagi korban, pelaku, dan masyarakat terdampak oleh suatu tindak pidana.
Pendekatan ini berfokus pada mediasi dan dialog antara pihak-pihak terkait untuk mencapai solusi yang adil dan memulihkan harmoni sosial.
Tujuan utama dari restorative justice adalah memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan, mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, dan memenuhi kebutuhan korban serta komunitas.
Pada Maret 2025, terdapat perbedaan pandangan restorative justive pada draf RUU KUHP pasal 77.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa draf RUU KUHAP mengecualikan tindak pidana penghinaan terhadap presiden dari mekanisme restorative justice.
Artinya, kasus semacam itu harus terselesaikan melalui proses peradilan formal. Ini tidak terselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi atau dialog antara pelaku dan korban.
Namun, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden justru dapat terselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
Ia menegaskan bahwa dalam draf terbaru RUU KUHAP, Pasal 77 telah diubah untuk memastikan bahwa mekanisme tersebut dapat diterapkan dalam kasus penghinaan presiden.
Habiburokhman menekankan pentingnya pendekatan ini, mengingat ujaran secara spontan dan lisan dapat memunculkan berbagai interpretasi. Jadi, penyelesaian melalui restorative justice justru lebih tepat.
Kesimpulan
Restorative justice menawarkan pendekatan alternatif dalam penyelesaian tindak pidana dengan menekankan pemulihan dan dialog antara pihak-pihak yang terlibat.
Dalam konteks RUU KUHAP, terdapat perdebatan mengenai apakah kasus penghinaan presiden dapat terselesaikan melalui mekanisme ini.
Sementara itu, beberapa pihak mendukung penerapan restorative justice untuk kasus tersebut, yang lain menekankan perlunya proses peradilan formal.
Kontroversi ini mencerminkan tantangan dalam menyeimbangkan antara perlindungan terhadap simbol negara dan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia.
Demikian informasi tentang restorative justice pada draf RUU KUHP pasal 77 tentang kasus pehinaan presiden. Semoga bermanfaat.***(Ika Sriani)