SERAYUNEWS – Tantiem artinya apa, istilah bonus BUMN yang dihapus. Pada Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Jumat, 15 Agustus 2025, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan keputusan tegas terkait pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Salah satu poin yang paling menyita perhatian publik adalah penghapusan tantiem untuk komisaris BUMN. Kebijakan ini tidak hanya menimbulkan diskusi hangat, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya arti tantiem, dari mana asal bahasanya, dan mengapa Prabowo memilih untuk menghapusnya?
Dalam pidatonya di DPR RI, Presiden Prabowo menyinggung praktik pemberian tantiem yang dianggap tidak masuk akal.
Ia menyebut ada komisaris yang bisa menerima hingga Rp40 miliar per tahun hanya dengan menghadiri rapat sebulan sekali.
Hal ini dinilainya sebagai bentuk pemborosan dana publik yang seharusnya digunakan lebih tepat sasaran.
Kebijakan tersebut resmi dituangkan melalui Surat Edaran Nomor S-063/DI-BP/VII/2025 yang berlaku sejak tahun buku 2025. Dengan aturan ini, komisaris BUMN maupun anak perusahaan tidak lagi berhak menerima tantiem, meskipun mereka tetap mendapatkan gaji tetap yang dianggap wajar.
Sementara itu, direksi masih diperbolehkan menerima kompensasi berbasis kinerja, tetapi dengan catatan: jika perusahaan benar-benar untung. Apabila laporan keuangan menunjukkan kerugian, maka bonus tersebut otomatis tidak berlaku.
Secara sederhana, tantiem adalah bonus atau insentif berbasis laba yang diberikan kepada karyawan, direksi, maupun komisaris perusahaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ini diartikan sebagai bagian keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada karyawan sebagai bentuk penghargaan.
Dalam praktik bisnis, tantiem biasanya ditentukan melalui keputusan pemegang saham dan diberikan setelah perusahaan membukukan laba bersih. Bonus ini berbeda dengan gaji tetap karena nilainya fluktuatif, tergantung pada hasil keuangan perusahaan.
Kata “tantiem” sendiri berasal dari bahasa Belanda, yakni tantieme, yang bermakna bagian keuntungan atau dividen.
Istilah ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dipakai secara luas di lingkungan korporasi, termasuk BUMN.
Di sektor BUMN, aturan mengenai tantiem diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor 02 Tahun 2009.
Regulasi tersebut menyebutkan bahwa tantiem diberikan sebagai penghargaan tahunan kepada direksi, komisaris, atau dewan pengawas BUMN ketika perusahaan mencatatkan laba atau peningkatan kinerja.
Namun, praktik ini kerap menuai kritik karena jumlahnya dinilai berlebihan dan tidak sebanding dengan kontribusi nyata penerimanya.
Menurut Rosan Roeslani, CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), kebijakan ini diperkirakan bisa menghemat sekitar Rp8 triliun per tahun.
Angka itu dihitung berdasarkan kajian menyeluruh mengenai praktik pemberian tantiem di BUMN.
Penghapusan tantiem juga menjadi bagian dari agenda besar RAPBN 2026 yang menitikberatkan pada efisiensi penggunaan dana publik.
Dalam visi pembangunan yang disampaikan, Prabowo menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk proyek hilirisasi senilai US$38 miliar dan pembangunan tiga juta rumah rakyat.
Selain efisiensi anggaran, Prabowo menilai bahwa kompensasi komisaris harus mencerminkan kontribusi nyata, bukan sekadar formalitas jabatan. Ia bahkan menyatakan bahwa bila ada pihak yang tidak setuju dengan kebijakan ini, mereka dipersilakan untuk mundur.
Langkah ini juga sejalan dengan praktik internasional. OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises menyebutkan bahwa komisaris idealnya hanya menerima pendapatan tetap guna menjaga independensi pengawasan.
Bonus berbasis laba, seperti tantiem, justru berisiko menimbulkan konflik kepentingan dan mengurangi objektivitas dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Dengan demikian, keputusan Presiden Prabowo untuk menghapus tantiem bukan semata soal pemangkasan anggaran, tetapi juga upaya memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, serta profesionalisme di tubuh BUMN.***