SERAYUNEWS – Topan Ragasa yang oleh masyarakat Filipina lebih dikenal sebagai Super Typhoon Nando, adalah badai tropis super kuat yang mengguncang Asia Timur pada September 2025.
Badai ini menjadi yang pertama berstatus super typhoon dalam musim badai tahun tersebut, sekaligus mencatatkan diri sebagai salah satu yang paling intens dalam sejarah.
Dengan kecepatan angin yang mencapai 270 km/jam dan tekanan udara di pusat badai sekitar 905 hPa, Ragasa meninggalkan jejak kerusakan di sejumlah negara.
Adapun mulai dari Filipina, Taiwan, Hong Kong, hingga wilayah selatan China.
Tidak hanya merusak infrastruktur, badai ini juga menelan korban jiwa dan memaksa jutaan orang mengungsi.
Ragasa bermula dari kumpulan awan konvektif di Samudra Pasifik bagian barat, tepatnya di utara Pulau Yap.
Pada 17 September 2025, sistem tersebut berkembang menjadi depresi tropis.
Awalnya, geseran angin sempat menghambat pembentukan inti badai.
Namun, hanya butuh waktu sehari bagi sistem ini untuk naik kelas menjadi badai tropis dan mendapatkan nama Ragasadari Badan Meteorologi Jepang (JMA).
Perubahan lebih signifikan terjadi pada 19 September, ketika Ragasa mencapai level topan.
Kekuatan badai meningkat dengan cepat, dan pada 22 September 2025 Ragasa resmi berstatus topan super kategori 5.
Dalam perjalanannya, badai ini sempat mengalami fenomena eyewall replacement cycle, yaitu proses alami di mana cincin awan badai di sekitar mata digantikan oleh cincin baru yang lebih besar.
Ragasa pertama kali mendarat di Pulau Panuitan, Calayan, Provinsi Cagayan di Filipina bagian utara.
Hujan deras dan angin kencang di Luzon Utara membuat aktivitas warga lumpuh, sementara gelombang tinggi mengganggu pelayaran.
Setelah itu, badai bergerak menuju Laut China Selatan.
Meski sedikit melemah, Ragasa masih cukup kuat saat melintasi selatan Hong Kong.
Otoritas setempat sampai mengeluarkan Sinyal Badai No. 10, level peringatan tertinggi yang sangat jarang dipakai.
Menariknya, tahun 2025 menjadi momen langka karena sinyal tersebut dipakai dua kali, sesuatu yang terakhir kali terjadi pada tahun 1964.
Ragasa kemudian mencapai daratan di Pulau Hailing, Yangjiang, Provinsi Guangdong, China Selatan.
Setelah menyapu kawasan pesisir, badai berangsur-angsur melemah ketika bergerak masuk ke pedalaman Tiongkok.
Sisa kekuatannya sempat menuju ke arah Vietnam, namun dalam kondisi sudah menurun menjadi depresi tropis.
Badai ini meninggalkan kerusakan serius di sepanjang jalurnya. Berikut beberapa catatan dampaknya:
Ada beberapa faktor yang membuat Ragasa menjadi badai luar biasa:
Badai ini menyampaikan pesan penting bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara yang kerap dilintasi topan tropis.
Mitigasi bencana seperti sistem peringatan dini, jalur evakuasi yang jelas, serta kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci untuk mengurangi risiko korban.
Selain itu, para ahli mengingatkan bahwa perubahan iklim bisa memperbesar peluang terjadinya badai dengan intensitas sekuat Ragasa.
Lautan yang semakin hangat memberi lebih banyak energi pada siklon tropis, sehingga badai besar bisa terjadi lebih sering di masa depan.***