Hukum Waris Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Hukum waris Islam bersumber pada tiga sumber utama yaitu Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad. Aturan tentang kewarisan itu telah ditetapkan melalui firman-Nya di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11. Dimana dijelaskan tentang pembagian warisan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu 2:1. Namun permasalahan yang semarak pada saat ini tentang kewarisan bagi transgender (Khuntsa).
Khuntsa menurut bahasa diambil dari lafadh al-khanatsa yaitu lemah dan pecah. Khuntsa ialah orang yang lemah lembut, padanya sifat lelaki dan perempuan. Jamaknya khunatsa dan khinatsun. Dikatakan Khuntsa adalah seseorang yang mempunyai dua alat kelamin; disamping ia mempunyai penis atau zakar ia juga mempunyai vagina atau faraj. Dalam hal semacam ini statusnya tidak jelas, apakah laki-laki atau perempuan. Istilah Khuntsa diambil dari al-hadist: “ Allah me’lanat laki-laki yang menyerupai atau bertingkah laku seperti banci/waria, dan perempuan yang menyerupai atau bertingkah laku seperti laki-laki “. Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam ; misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki penis atau memiliki keduanya ( penis dan vagina), ada juga yang memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya. Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lobang vagina dan hanya lubang kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis.
Khuntsa dibagi menjadi dua keadaan yaitu, khuntsa bukan musykil dan khuntsa musykil. Khuntsa bukan musykil adalah khuntsa yang dapat diketahui mana lebih dominan apakah laki-laki atau perempuannya. Khuntsa musykil adalah yang tidak dapat diketahui mana yang lebih dominan apakah unsur laki-laki atau perempuannya. Kewarisan khuntsa musykil ini ditangguhkan sampai ia dewasa.
Kewarisan bagi transgender (khuntsa) ini belum diatur didalam nash maupun undang-undang yang ada di Indonesia. Pada dasarnya kewarisan ini telah jelas arah dan tujuannya. Namun terhadap hal-hal yang masih baru dan belum ada pada zaman Nabi dan sahabat maka belum dituangkan didalam Al – Quran dan hadist tetapi melalui ijma ulama. Hal seperti ini kemudian menjadi pembahasan dan pemikiran dikalangan para ulama dan kemudian dirumuskan dalam bentuk normatif. Aturan itu kemudian ditulis menjadi bentuk fiqh dan sebagai salah satu pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kewarisan. Di Indonesia, hukum tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan yang berkenaan dengan harta warisan dan hal tersebut telah dituangkan dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II tentang Waris Pasal 174 ayat (1) disebutkan bahwa : Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
Menurut hubungan darah :
– Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara lakilaki, paman dan kakek.
– Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda
Besarnya bagian yang diterima oleh ahli waris, diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II tentang Waris BAB III tentang Besarnya Bagian. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam diketahui bahwasanya Hukum Islam telah mengatur di dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa pewaris berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga apabila seseorang memiliki alat kelamin lebih dari satu, masih belum diatur di dalam kompilasi hukum Islam. Namun permasalahan yang sedang menjadi wacana pemikiran para ulama saat ini, tentang kewarisan bagi Transgender (Khuntsa). Fenomena yang menjulang pada saat ini ketika seseorang itu merasa tidak puas dengan kelamin yang dimilikinya sehingga mereka berpikir bahwa melakukan operasi kelamin sebagai salah satu alternatif dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Menurut fuqaha, kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya, sehingga ia menerima harta waris sesuai bagiannya. Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada diri seseorang, sama halnya tidak memiliki kejelasan status (musykil). akan tetapi ada beberapa cara mengidentifikasi, yaitu bisa dilihat dari cara buang air kecil. Jika keluar penis, maka divonis laki-laki. Sebaliknya, jika urine keluar dari vagina, ia divonis perempuan, dan ia mendapat hak waris sebagaimana kaum perempuan. Namun bila mengeluarkan urine dari kedua alat kelamin (penis dan vagina) secara berbarengan, inilah yang dikatakan khuntsa musykil. ia akan tetap musykil hingga datang masa baligh. untuk mengetahuinya, bisa memperhatikan dari pertumbuhan badannya, mengenali tanda-tanda khusus yang lazim menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, cara bermimpi dewasa, tumbuh kumis, tumbuh payudara, ia haid atau hamil dan sejenisnya.
Ada tiga pendapat yang dipaparkan oleh ulama mazhab tentang kewarisan transgender (khuntsa) :
1. Ulama Hanafiyah, khuntsa mendapat hak waris yang paling sedikit, yaitu bagian di antara keadaannya sebagai laki-laki atau perempuan. Pendapat tersebut diuraikan pula oleh Imam Syafi’i dan mayoritas sahabat.
2. Ulama Malikiyah, waria diberi bagian sebesar sepertengah antara bagian laki-laki dan perempuan. Artinya bagian laki-laki dan perempuan disatukan lalu dibagi dua, hasilnya menjadi bagian khuntsa.
3. Ulama Syafi’iyah, setiap ahli waris waria diberikan dalam jumlah yang minimal. Pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris, sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap kuat di kalangan mazhab Syafi’i, sebagaimana dalam nadham rahabiyah:
وان يكن مستحق المال # خنثى صحيح بين الأشكال
اقسم على الا قل واليقين # تحظ بحق القسمة المبين
Artinya: Apabila yang mendapat warisan itu benar-benar khuntsa musykil, berikan kepadanya bagian yang lebih sedikit dan yang diyakini, dan berikanlah haknya apabila telah jelas statusnya.
Hukum Transgender (Khuntsa) dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk transgender (khuntsa) menurut pendapat yang paling kuat, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit diantara dua keadaannya. keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu diantara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak transgender (khuntsa) dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu’amalah bil adhar yaitu jika transgender (khuntsa) dinilai sebagai wanita bagianya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan diantara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa transgender (khuntsa) tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya transgender (khuntsa) dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurkah hak warisnya.
6 8 6 24
Suami ½ 1 Suami ½ 3 9
Sdr. Kdg. Pr. ½ 1 Ibu 1/3 2 6
Banci lk. – Banci kandung 1 4
52
Suami ½ 1 Suami ½ 3 6
Sdr. kdg.pr. 1/2 1 Sdr. kdg. Pr. 1/2 3 6
Banci lk. – Sdr. Pr.seayah 1/6 1 –
Dari sini dapat diambil simpulan, bahwa Islam memperhatikan hak waris para pemeluknya, termasuk mereka yang teridentifikasi sebagai transgender (khuntsa), meskipun mendapat kecaman berbagai kalangan.
Tim Penulis : Bayu Indarto, Hanif Nurhidayat, Noval Nurfaizi.
Dosen : Dr. Eti Mul Erowati, SH., MHUM.
Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto.