Purwokerto, Serayunews.com
Selepas Asar, suasana di kantor Pusat Studi Dakwah Komunitas (PSDK) Muhammdiyah mulai terlihat ramai. Anak-anak usia 3-6 tahun terlihat tertib mengaji di ruangan paling besar, di bagian belakang. Sedangkan beberapa ibu, terlihat duduk manis menunggu giliran untuk mengaji di ruang tengah.
Candra, sapaan Ahmad Dwi Candra, tampak sedang membimbing salah satu ibu dalam mengaji. Beberapa kali, ia mencontohkan bacaan yang benar kepada ibu tersebut dan si ibu terlihat tersipu malu saat bacaannya salah. Sambil menutup mukanya, si ibu berkata, “Duh nggak hafal-hafal,”.
Candra dengan penuh kesabaran terus memberikan bimbingan bacaan kepada ibu tersebut. Sementara deretan ibu-ibu masih mengantre giliran dengan duduk di karpet sambil memperhatikan bacaan ibu yang sedang mendapat giliran mengaji.
“Setiap sore saya mengajar ngaji di sini, malam baru pulang ke rumah untuk belajar,” tutur mahasiswa semester 2 Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) ini.
Status mahasiswa yang disandang Candra, tidak membuatnya lupa akan lingkungan sekitarnya. Ia tetap rendah hati dan meluangkan waktu untuk mengajar mengaji warga Kampung Sri Rahayu, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Kampung Sri Rahayu sebelumnya dikenal sebagai kampung pengemis dan pengamen, karena sebagian besar warganya menggantungkan hidup dari aktivitas tersebut. Bahkan sebelumnya juga ada Pekerja Seks Komersial (PSK). Secara perlahan, setelah mendapat banyak support dari berbagai pihak, sebagian warga sudah mulai beralih profesi, ada yang menjadi pedagang asongan, buruh, dan sebagainya.
Candra lahir dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya Ahmad Dwi Cahyo (50) bekerja sebagai buruh bangunan dan ibunya, Waryati (45) membantu ekonomi keluarga dengan menjadi pengamen. Sebab, penghasilan sebagai buruh bangunan sangat tidak mencukupi untuk menghidupi empat orang anak.
Honor Mengajar Mengaji
Meskipun hidup di lingkungan yang kurang kondusif, namun Candra sudah mempunyai hobi mengaji sejak kecil. Bahkan sejak ia belum sekolah. Di dekat rumahnya ada TPQ gratis yang memang dikhususkan untuk mengaji anak-anak Kampung Sri Rahayu. Namun, tidak semua anak mau memanfaatkan fasilitas tersebut dan Candra sangat beruntung karena bisa memanfaatkan kesempatan mengaji gratis tersebut.
Saat duduk di Sekolah Dasar (SD), Candra mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke pondok pesantren, karena ia tidak tega jika harus membebani keluarganya dengan biaya sekolah yang mahal. Namun, karena sesuatu hal niat tersebut dibatalkan, hingga akhirnya justru kakak Candra yang masuk pondok.
“Akhirnya saya melanjutkan sekolah di SMPN 2 Karanglewas dan kemudian masuk ke MAN 2. Waktu di MAN itu mulai terasa biaya pendidikan yang mahal, karena SPP satu bulan Rp 190.000. Beruntung saya mulai mendapat tawaran untuk mengajar ngaji privat dari beberapa keluarga, sehingga bisa membantu biaya sekolah dan juga membantu kebutuhan keluarga sehari-hari,” tutur bocah kelahiran 15 Mei 2002 tersebut.
Candra diminta mengajar mengaji dua orang anak dan untuk pertama kalinya ia mendapatkan honor Rp 300.000, setelah satu bulan mengajar. Ia mengaku sangat senang dan baru pernah memegang uang sebanyak itu. Honor pertama tersebut sebagian langsung diberikan kepada ibunya dan sebagian ia tabung untuk biaya sekolahnya.
Tawaran mengajar mengaji terus berdatangan. Hingga dalam satu malam, Candra bisa berkeliling tiga rumah untuk mengajar mengaji. Meskipun begitu, anak ke dua dari empat bersaudara ini, tidak pernah menentukan tarif mengajarnya, berapapun yang diberikan oleh keluarga tersebut, ia syukuri.
“Niatnya kan beribadah, kalau mendapat honor, Alhamdulillah…itu bonus, tetapi saya tidak pernah memasang tarif. Ada keluarga yang memberikan Rp 50.000 seminggu, ada juga yang memberikan bulanan,” katanya.
Kemahirannya dalam mengaji ini, menjadi jalan bagi Candra untuk mendapatkan beasiswa kuliah di UMP dari PSDK. Sekarang sudah masuk tahun ke dua ia kuliah, dan sore hari ia tetap menyempatkan waktu untuk mengajar ngaji di PSDK.
Melihat anaknya yang sekarang menyandang status mahasiswa, Waryati mengaku sangat bangga sekaligus terharu. Ia mengaku memang memiliki mimpi salah satu anaknya bisa memakai toga.
“Kalau lihat di televisi, pakai toga itu gagah, jadi saya ingin anak saya ada yang bisa pakai toga dan ternyata sekarang ada yang bisa kuliah dengan beasiswa,” kata Waryati sambil mengusap matanya yang berkaca-kaca.
Candra ternyata menyimpan rapi keinginan ibunya tersebut dan ia bertekad untuk mewujudkannya suatu saat nanti. Keinginan ibunya, menjadi pemicu semangat untuk terus belajar dan membawa pulang toga untuk ibunya tercinta.