Pada tahun 1973, Presiden Soeharto berjanji akan memberikan bantuan sapi pada petani Banyumas. Bantuan yang dijanjikan adalah 500 sapi. Di tahun itu juga, setelah janji itu, bantuan sapi pun turun ke Banyumas. Namun, masyarakat malah kecewa, walaupun tetap berterima kasih.
Ceritanya 68 sapi tersebut dibagi ke tiga kecamatan yakni, Wangon, Jatilawang, dan Rawalo. Tentu saja kabar itu telah membuat para petani antusias. Para petani berduyun-duyun datang ke tempat didropnya sapi.
Sayangnya, apa yang dilihat petani tak sesuai yang ada dalam khayalan mereka. Sebab, ternyata sapi yang masih kecil. Sapi bantuan itu sebagian masih berumur 1 tahun. Tentu hal itu tak sesuai dengan harapan para petani.
Pandangan para petani kala itu adalah, sapi dewasa yang sudah bisa dimanfaatkan untuk membajak sawah. Jadi para petani di Banyumas itu membayangkan sapi bisa didapatkan dan bisa langsung dimanfaatkan tenaganya.
Bukan hanya usia sapi yang kecil, ternyata harga sapi itu dinilai mahal. Satu sapi dihargai Rp 40.000. Tentu saja uang segitu di tahun 70-an sangat besar sekali. Nah, harga sapi itu bisa dicicil selama empat kali panen atau 18 bulan.
Saat itu, warga pun meminta keringanan yakni harga diturunkan. Jadi harga bukan Rp 40.000 tapi antara Rp 15.000 sampai 25.000 per ekor. Waktu pembayaran cicilannya pun diminta diperpanjang.
Tapi, masyarakat Banyumas tetap berterima kasih pada Presiden Soeharto yang memperhatikan petani. Caranya dengan merealisasikan bantuan yang pernah diungkapkan. Warga Banyumas menilai bahwa kualitas sapi itu adalah “kesalahan” PKK Jawa Tengah.
Cerita ini dikutip dibeberkan oleh Harian Kami. Tentu saja, berita ini sangat sensitif karena mengorek “kejelekan” dari janji dan realisasi pemerintah. Namun, berita ini tetap bisa naik cetak dan jadi konsumsi umum.
Bukti sensitifnya berita ini adalah, pejabat terkait di Banyumas tak mau memberikan komentarnya tentang fenomena sapi bayi itu. Pejabat di dinas terkait itu memilih melemparkan pada atasannya, yakni Bupati Banyumas.
Seperti diketahui, Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Dia berkuasa selama 32 tahun. Masa pemerintahannya berhenti tahun 1998. Saat itu, demo besar-besaran telah ikut memicu turunnya Soeharto sebagai presiden.
Semasa menjadi presiden, Soeharto memang getol dengan dunia pertanian. Bahkan, pada masa Orde Baru, Indonesia pernah swasembada pangan pada 1984. Di masa Orde Baru juga, revolusi hijau digalakkan. Artinya, bagaimana supaya lahan pertanian dan pangan bisa memberi hasil yang banyak.
Maka, tak heran dalam banyak kesempatan atau foto, Presiden Soeharto bersama para petani. Bahkan, di masa Orde Baru ada acara televisi khusus yang memberi ruang para petani dan nelayan untuk lomba. Acara televisi itu adalah klompencapir atau singkatan dari kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa.
Bagi pembaca yang pernah merasakan masa Orde Baru, tentu sangat familiar dengan acara klompencapir di televisi. Iya kan?