Ini cerita tentang masa Orde Baru, masa Presiden Soeharto. Di masa itu pemilihan kepala daerah cukup ambigu. Yang berhak memilih adalah DPRD, tapi pemerintah pusat punya kewenangan lebih besar.
Disebutkan dalam UU Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974 menjelaskan gubernur diangkat dan diberhentikan Presiden. Bupati atau wali kota diangkat dan diberhentikan Menteri Dalam Negeri atas persetujuan Presiden. Jadi sekalipun pemilihan oleh DPRD, pemerintah pusat memiliki kewenangan yang kuat.
Biasanya memang tak ada beda suara. Artinya yang diinginkan pemerintah pusat jadi kepala daerah, akan dapat dukungan dari DPRD. Apalagi Golkar dan ABRI sangat kuat di DPRD pada masa Orde Baru.
Karena itu, siapa yang diinginkan Presiden Soeharto menjadi gubernur, maka tinggal diformalkan saja. Salah satu ceritanya diungkapkan tokoh asal Sokaraja Soepardjo Roestam. Pada tahun 1974, Soepardjo Roestam adalah duta besar RI di Kuala Lumpur.
Kala itu, Soepardjo menghadap ke Presiden Soeharto untuk melaporkan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak. Ada kebiasaan di masa lalu, saat selesai laporan, akan ada pernyataan “apakah ada petunjuk-petunjuk lain”.
Pernyataan itu pula yang diungkapkanSoepardjo pada Presiden Soeharto. Ternyata, ada pernyataan yang tiba-tiba diungkapkan Presiden Soeharto. “Pardjo siap-siap kembali ke Jawa Tengah,” kata PresidenSoeharto.
“Tugas apa pak?” Tanya Soepardjo.
“Sebagai gubernur,” kata Presiden Soeharto.
Hal itu menunjukkan bagaimana kuatnya Presiden Soeharto saat itu. Hanya dengan satu ucapan, maka pemerintahan di daerah dipersiapkan. Tanpa ada konsepsi soal kampanye dan pemilu gubernur seperti saat ini. Kekuatan Presiden Soeharto sangat luar biasa kala itu.
“Kapan saya harus menjalankan tugas gubernur?” kata Soepardjo.
“Kira-kira nanti akhir tahun 1974, kalau masa jabatan Munadi (Gubernur Jawa Tengah) selesai. Sekarang diam saja dulu. Kalau Pardjo menunjukkan kemampuan sebagai pejabat sementara gubernur, maka akan dapat terpulih oleh DPRD tingkat 1 dalam siding nanti,” begitu kata Presiden Soeharto.
Sekalipun pemilihan oleh DPRD, tapi tetap saja kekuatan pusat sangat luar biasa. Sebelas bulan sebelum pergantian kepemimpinan di Jawa Tengah, Presiden Soeharto sudah menyiapkan orang untuk menjadi pemimpin. Hanya dengan satu pernyataan, tanpa ada kampanye dan lainnya.
Pada akhirnya, Soepardjo menjadi Gubernur Jawa Tengah dari 1974 sampai 1982. Satu hal lain yang diungkapkan Soepardjo adalah kebiasaan pernyataan dari Presiden Soeharto ketika dilapori masalah. Ada dua pernyataan yang sering diungkapkan Presiden Soeharto pada para pembantunya termasuk Soepardjo Roestam.
Pernyataan pertama adalah “silakan jalan terus jika hal itu sudah baik”. Pernyataan kedua adalah “cari cara terbaik untuk mengatasi masalah itu”. Dua pernyataanitu memberi keleluasaan sekaligus juga beban yang berat.
Soepardjo sendiri mengaku tak akan mengambil keputusan untuk hal yang berdampak nasional. Dia akan meminta petunjuk terlebih dahulu pada Presiden Soeharto.
Kekuatan sentral pemerintahan di masa Orde Baru memang beda dengan saat ini. Jika dulu satu komando dan satu suara, maka kini dengan kebebasan pendapat, seorang kepala daerah bisa beda pendapat dengan Presiden.
Kembali ke Soepardjo Roestam. Dia kelahiran tahun 1926 di Sokaraja, Banyumas. Soepardjo Roestam menempati beberapa posisi penting di masa Orde Baru. Selain Gubernur Jawa Tengah, juga pernah menjadi Menteri Dalam Negeri. Soepardjo Roestam meninggal pada tahun 1993.
Referensi: Soepardjo Roestam, “Arif, Tenang Dan Tegas “, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”