SERAYUNEWS—-Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengajak seluruh partai politik bersatu ke dalam koalisi pemerintahan.
Kemudian, menurutnya filosofi demokrasi di Indonesia tidak mengenal oposisi bangsa ini menganut demokrasi gotong royong.
“Musyawarah untuk mufakat menjadi ciri khas berdemokrasi di Indonesia. Kita ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong,” kata Bamsoet (12/4/2024).
Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan membuat DPR Gotong Royong (DPR-GR). Selanjutnya, pembubaran terjadi karena DPR tidak menyetujui RAPBN dari pemerintah.
Kemudian, Sukarno menjadikan DPR-GR sebagai simbol penerapan demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, termasuk dengan pembentukkan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Setelah itu, Sukarno turun digantikan Soeharto. Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Sukarno.
DPR-GR adalah nama indah pijakan Suharto mencengkeram kekuasaan. Suharto membungkus semua rival politiknya dalam DPR-GR. Sebuah analogi gotong royong yang jauh dari suasana saling membantu di atas kepentingan bersama.
Rekonsiliasi kubu Prabowo-Gibran, persis sama yang Soeharto lakukan. Membungkus rival politiknya dalam satu koalisi. Seperti analisa Direktur Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo yang menilai tidak selalu politik rekonsiliasi berdampak baik.
“Rekonsiliasi itu sesuatu hal yang baik ya, itu positif. Nah, tetapi rekonsiliasi yang sekadar hanya untuk memperkuat posisi eksekutif itu bisa menimbulkan dampak negatif,” kata Karyono (22/2/2024).
Jika Bamsoet mengatakan kita menganut demokrasi gotong royong, perlu kita pertanyakan referensinya. Sukarno menjelaskan serba sedikit tentang gotong royong.
Gotong royong juga bukan hanya ada di Indonesia. Di Inggris ada istilah bee yang artinya kerja bersama. Dalam masyarakat Indian Cherokee di Oklahoma, Amerika Serika, muncul istilah gadugi.
Di Irlandia disebut mitheal, di Finlandia talkot, di Norwegia dugnad, di pegunungan Andes minka, di Afrika Utara naffir, di Turki imece, dan di Kenya harambee.
Jika kita belajar sejarah, ide demokrasi gotong royong menjadi dejavu. Bangsa ini pernah mengalami peyorasi makna gotong royong pada masa lampau. Apakah akan mengulangi sejarah?
Kata Karl Marx, “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.”*** (O Gozali).