SERAYUNEWS – Ramai-ramai, beberapa kampus memberikan respons terkait dengan gelar profesor. Banyak oknum yang hanya mengejar status tersebut demi status sosial yang didapat.
Menyikapi hal tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid saat ini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, dia tak mau dipanggil dengan sebutan profesor.
Bahkan, Fathul juga meminta gelarnya tidak lagi ditulis lengkap selain dalam penandatanganan dokumen penting kampus seperti ijazah dan transkrip nilai. Hal itu tentu untuk menjaga sakralisasi gelar profesor.
Kebijakan Rektor UII Fathul Wahid tersebut ternyata tidak sendiri. Rektor Universitas Airlangga (Unair) M. Nasih juga menyatakan bahwa kampusnya telah menyampaikan hal serupa kepada tenaga pendidiknya.
Selanjutnya, Rektor UII Fathul Wahid sudah mengeluarkan surat edaran bernomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024 untuk pejabat struktural di lingkungan UII yang dia tandatangani Kamis (18/7/2024).
Sejatinya, Rektor UII sejak 2018-2022 dan 2022-2026 ini memiliki gelar lengkap yaitu Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. Namun, dia meminta penulisannya menjadi Fathul Wahid saja.
Akan tetapi, gelar profesor tetap akan dituliskan untuk dokumen akademik lainnya seperti ijazah dan transkrip nilai milik mahasiswa.
Hal itu sebagaimana yang Rektor Fathul sampaikan melalui akun Instagram pribadinya @fathulwahid_. Dia sekali lagi mengharapkan untuk memanggil nama saja tanpa gelar yang dimilikinya.
“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.” Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun,” demikian bunyi permintaannya, serayunews.com mengutip pada Minggu (21/7/2024).
Lebih lanjut, pakar di bidang sistem dan teknologi informasi (TI) juga meminta kepada para profesor yang setuju dengan gerakannya tersebut agar turut serta melantangkan tradisi yang lebih kolegial ini.
Dengan desakralisasi ini, dia berharap orang tidak lagi mengejar jabatan profesor.
“Termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara,” pungkasnya.
Berikutnya, Rektor Unair Moh Nasih seusai kick off launching logo, maskot, dan theme song PIMNAS ke-37 di kampus C Unair, Jumat (19/7/2024), mengungkapkan bahwa pihaknya telah lama memposisikan diri kapan waktu yang tepat untuk menulis titel, termasuk gelar profesor. Menurut dia, penulisan gelar tak perlu jika bukan tugas akademis.
“Kalau di Unair, kami meminta gelar itu tidak perlu ditulis kalau sifatnya administratif, karena bukan tugas akademis, kecuali kalau wisuda, menjadi penguji, dan tugas akademis lainnya,” kata Nasih.
Menurut akademisi di bidang akuntansi, upaya ini bertujuan sebagai bentuk sakralisasi seorang guru besar untuk menjaga martabatnya. Sebab, hanya sebagian orang yang bisa mencapai posisi itu.
“Jadi bukan desakralisasi, kami inginnya sakralisasi,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Rektor yang menjabat sejak 2015 itu pun menyarankan penilaian guru besar harus lebih kuat serta penyaringan lebih ketat lagi untuk menjaga posisi guru besar tetap sakral dan mulia.
“Jangan sampai orang yang belum waktunya dapat gelar itu, malah dapat sebelum waktunya,” tandasnya.
***