SERAYUNEWS– Ada hal menarik dari pernikahan orang Indonesia, yaitu undangannya. Tak hanya nama mempelai dan kedua orangtua yang tercantum di sana, tapi juga gelar akademis mereka. Padahal jelas, pernikahan bukan kegiatan akademis.
Gelar kesarjanaan juga orang pakai dalam kegiatan lain yang sama sekali tidak ada hubungan dengan kegiatan akademik, termasuk di politik dan pemerintahan.
Oleh karena itu, gelar akademik menjadi sakral karena menyangkut status sosial seseorang.
Akhirnya, ada juga yang kemudian menggaungkan sebuah gerakan kultural untuk mendesakralisasi gelar akademik di Indonesia.
Dia adalah Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid. Fathul meminta gelar akademiknya tidak lagi bersanding dengan nama di berbagai surat atau dokumen resmi di kampus.
Fathul menuangkan permintaan itu dalam Surat Edaran Rektor UII Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024. Surat dia tujukan kepada pejabat struktural di lingkungan UII. Kemudian, dia menandatangani surat itu pada Kamis (18/7/2024).
“Untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap ‘Prof Fathul Wahid, ST, MSc, PhD’ agar dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’,” tulis Fathul dalam edaran itu.
Fathul menjelaskan, penghapusan gelarnya dalam surat-menyurat itu sebagai pendapat personal.
“Tapi ini pendapat personal, ya. Artinya gini, saya tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti saya, saya mencoba menjadikan ini sebagai gerakan kultural, ya katakanlah gitu. Kalau ini bersambut, maka itu akan sangat baik,” ucapnya (18/7/2024).
Menurut Fathul, gelar akademik memiliki tanggung jawab akademik dan moral. Jadi, menurutnya tidak relevan untuk dicantumkan di dalam dokumen-dokumen.
“Termasuk dalam kartu nama dan lain-lain,” bebernya.
“Sebetulnya upaya itu sudah saya lakukan sejak lama, sejak saya diangkat profesor, karena kami menganggap itu kan terkait dengan jabatan akademik, yang lebih banyak punya tanggung jawab daripada berkah,” kata Fathul.
“Saya mencoba menjadikan ini sebagai gerakan kultural. Kalau ini bersambut maka itu akan sangat baik. Sehingga jabatan profesor ini lebih dianggap sebagai amanah dengan tanggung jawab,” kata Fathul.
Paling tidak, ke depan, dia ingin di Indonesia tidak ada sekelompok orang, maupun politisi dan pejabat mengejar-ngejar jabatan profesor.
“Karena yang dilihat tampaknya lebih (mengejar) ke status, ya. Bukan sebagai tanggung jawab amanah,” ucapnya.***(O Gozali)