SERAYUNEWS – Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang dokter kandungan di Garut, Jawa Barat, ramai diperbincangkan dan membuat geger warganet.
Video rekaman CCTV yang memperlihatkan tindakan tak pantas terhadap pasien perempuan saat pemeriksaan USG beredar luas, viral di media sosial. Publik pun mengecam keras aksi tersebut.
Di balik peristiwa itu, muncul pula pertanyaan yang lebih mendasar, terutama bagi umat Islam. Bolehkah perempuan memeriksakan diri ke dokter laki-laki, khususnya dalam hal kandungan? Simak jawabannya.
Dalam dunia medis, dokter kandungan adalah profesi yang membutuhkan keahlian dan dedikasi tinggi.
Laki-laki bisa saja menekuni bidang ini, sebagaimana perempuan juga bisa menjadi dokter spesialis andrologi yang menangani kesehatan reproduksi pria.
Pilihan profesi ini umumnya didasarkan pada panggilan hati dan minat terhadap ilmu kedokteran, bukan semata-mata karena alasan gender.
Namun, mengingat profesi ini menyangkut wilayah yang sangat pribadi dan sensitif, tentu ada aturan dan etika yang harus diperhatikan. Dari sisi medis, tidak ada larangan bagi pria menjadi dokter kandungan.
Namun dari sisi agama, khususnya Islam, ada ketentuan yang mengatur interaksi antara dokter dan pasien berlainan jenis, terutama dalam konteks menyentuh atau melihat aurat.
Islam memprioritaskan perlindungan aurat dan kehormatan, terutama dalam hubungan antara lawan jenis. Karena itu, dalam kondisi ideal, perempuan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter perempuan.
Namun, jika tidak tersedia dokter perempuan yang kompeten atau dalam kondisi darurat, Islam memperbolehkan perempuan untuk berobat ke dokter laki-laki, dengan syarat tertentu.
Kitab Al-Tahdzib fi Adillah Matn al-Ghayah wa al-Taqrib karya Mushthofa Dib Al-Bugha menjelaskan bahwa untuk keperluan medis, melihat aurat diperbolehkan jika hanya sebatas kebutuhan.
Hadis riwayat Muslim mencatat bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang laki-laki untuk melakukan bekam pada Ummu Salamah, salah satu istrinya.
Ini menunjukkan bahwa tindakan medis oleh lawan jenis dapat dibenarkan dalam keadaan tertentu. Syarat lainnya yang harus diperhatikan adalah kehadiran mahram atau pendamping ketika pemeriksaan dilakukan.
Ini untuk mencegah terjadinya khalwat atau situasi berduaan antara dokter dan pasien yang bukan mahram.
Selain itu, jika di suatu tempat terdapat dokter Muslim yang ahli, maka pasien Muslim diwajibkan memilih dokter tersebut daripada dokter non-Muslim.
Ketentuan ini berlaku tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk laki-laki. Artinya, laki-laki juga sebaiknya tidak memeriksakan diri ke dokter perempuan jika masih tersedia dokter laki-laki.
Islam tidak hanya menekankan aspek fisik dalam merawat kehamilan, tetapi juga memperhatikan kondisi psikologis atau ruhani ibu.
Karena itu, penting bagi seorang perempuan untuk memilih dokter yang tidak hanya ahli secara medis, tapi juga mampu memberi rasa aman dan nyaman selama proses kehamilan hingga persalinan.
Jika seorang ibu merasa tidak tenang diperiksa oleh dokter laki-laki, meski secara medis diperbolehkan, maka sebaiknya mencari dokter perempuan yang bisa memberikan rasa tenteram. Sebab, ketenangan batin juga berpengaruh pada kesehatan janin.
Kasus dugaan pelecehan seksual seperti yang terjadi di Garut tentu sangat mencoreng dunia kesehatan. Ini menjadi pengingat bahwa etika dalam profesi medis adalah hal yang tidak bisa ditawar.
Setiap dokter harus menjunjung tinggi profesionalitas dan menjadikan pasien sebagai manusia yang harus dihormati sepenuhnya.
Fasilitas kesehatan perlu memperketat pengawasan, menyediakan prosedur pendampingan saat pemeriksaan, dan memastikan pasien mengetahui hak-haknya.
Keberadaan kamera pengawas di ruang pemeriksaan, selama tidak melanggar privasi, bisa menjadi bentuk perlindungan tambahan bagi pasien.
Demikian hukum Islam menggunakan dokter laki-laki saat melakukan pemeriksaan kandungan. Semoga informasi ini bermanfaat untuk Anda.***