SERAYUNEWS– Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang Guru Besar di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto mengguncang dunia pendidikan Indonesia.
Identitas dosen bergelar profesor itu telah dibongkar pihak Dekan FISIP Unsoed. Dia bernama Prof. Adhi Iman Sulaiman. Dia dilaporkan telah melakukan dugaan pelecehan terhadap mahasiswinya.
Kejadian ini memicu gelombang kemarahan dan keprihatinan dari publik, khususnya mahasiswa Unsoed yang turun ke jalan menuntut keadilan.
Aksi solidaritas digelar oleh mahasiswa Unsoed sebagai bentuk protes atas lambannya penanganan kasus.
Dengan mengenakan almamater kuning, mereka membawa spanduk bertuliskan “Stop Sexual Violence.”
Mereka sambil meneriakkan tuntutan agar pelaku diberi sanksi tegas dan korban mendapatkan keadilan.
Melansir keterangan di Instagram DPR RI, mereka mendesak sanksi pelaku kekerasan seksual di Unsoed dengan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. DPR RI menegaskan Kampus Bukan Tempat Aman bagi Predator Seksual.
Pihak Dekan FISIP Unsoed, Prof Slamet Rosyadi juga telah menyatakan bahwa dosen pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual.
Kampus akan memproses kasus tersebut sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Unsoed juga menyatakan komitmennya untuk menegakkan keadilan dan menciptakan lingkungan akademik yang aman dan bebas dari kekerasan.
Di sisi lain, DPR RI melalui Komisi III, Komisi X, dan Komisi XIII menyerukan agar penyelesaian kasus ini tidak berhenti pada sanksi etik atau administratif saja.
DPR RI menegaskan bahwa proses hukum wajib dilakukan dan tidak boleh ada kompromi atas nama jabatan, gelar akademik, atau reputasi institusi.
UU TPKS memberikan landasan hukum yang kuat untuk menghukum pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan:
Pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda hingga Rp300 juta.
Relasi kuasa, seperti dosen dan mahasiswa, menjadi pemberat hukuman.
Proses hukum wajib dilakukan secara adil, transparan, dan berpihak pada korban.
Negara memiliki kewajiban melindungi korban dari intimidasi dan tekanan selama proses hukum.
Sejumlah anggota DPR RI memberikan pernyataan keras dalam menyikapi kasus ini:
Hetifah Sjaifudian (Ketua Komisi X DPR RI):
“Budaya diam harus diakhiri. Kami siap mengawal pelaksanaan UU TPKS dan mendukung penuh kerja-kerja Satgas PPKS di kampus.”
Willy Aditya (Ketua Komisi XIII DPR RI):
“Kalau hanya menunggu, kita akan memperpanjang barisan korban. Kita perlu komitmen dan tindakan progresif.”
Gilang Dhielafararez (Anggota Komisi III DPR RI):
“Kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap tubuh dan martabat korban. Dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat aman bagi predator seksual.”
Kasus ini menyoroti betapa pentingnya pembenahan menyeluruh di lingkungan pendidikan. DPR RI mengapresiasi keberanian mahasiswa Unsoed dan Satgas PPKS yang konsisten mendampingi korban dan menyuarakan keadilan.
Budaya bungkam, normalisasi kekerasan, dan impunitas harus dihentikan. Sudah saatnya kampus bersikap tegas. Perlindungan terhadap korban harus menjadi prioritas, bukan citra lembaga atau kenyamanan pelaku.
Pendidikan yang bermartabat hanya bisa terwujud jika seluruh komunitas akademik menolak kekerasan dalam bentuk apa pun.
Kekerasan seksual bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi kejahatan serius terhadap hak asasi manusia.
DPR RI mendesak agar seluruh kampus di Indonesia menggunakan UU TPKS sebagai dasar hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, serta memastikan kampus menjadi ruang aman dan sehat untuk semua.