SERAYUNEWS – Belakangan ini, istilah yang sering muncul di kalangan Gen Z, terutama di media sosial, adalah doom spending.
Buat kamu yang belum familiar, doom spending adalah perilaku impulsif dalam belanja sebagai bentuk pelarian dari stres, kecemasan, atau bahkan rasa bosan.
Banyak yang mengaitkannya dengan situasi sulit, seperti krisis ekonomi atau masalah pribadi.
Nah, buat Gen Z yang lagi ngetren di TikTok dan Instagram, doom spending ini bisa dibilang salah satu cara buat coping sama realitas yang kadang berat.
Doom spending muncul sebagai gabungan antara doomscrolling dan kebiasaan belanja.
Mungkin beberapa dari kamu udah sering dengar istilah doomscrolling, kebiasaan nggak sehat di mana kita terus-terusan men-scroll berita buruk atau informasi negatif di media sosial.
Nah, doom spending adalah versi lanjutannya, di mana setelah kita terpapar hal-hal yang bikin khawatir, kita langsung melampiaskannya dengan belanja barang-barang yang nggak kita butuhin.
Kalau dipikir-pikir, belanja bisa jadi semacam terapi instan. Lagi down? Langsung checkout sepatu baru.
Lagi cemas? Skincare baru kayaknya bisa bikin mood naik. Masalahnya, kebiasaan ini sering berujung pada pengeluaran yang nggak terkendali dan bikin kantong kempes.
Media sosial sekarang kayak dua sisi mata uang. Di satu sisi, bisa jadi hiburan dan tempat curhat.
Tapi di sisi lain, konten-konten di sana, baik itu tren fashion, barang-barang baru, sampai lifestyle glamor, bisa bikin kita merasa harus terus mengikuti biar tetap relevan.
Jadi, saat scroll media sosial dan ngelihat orang lain pamer barang mewah, dorongan buat belanja impulsif pun muncul.
Gen Z tumbuh di era yang penuh ketidakpastian. Mulai dari pandemi, perubahan iklim, sampai krisis ekonomi global.
Ketidakpastian ini kadang bikin kita cemas soal masa depan. Belanja, meski cuma sementara, sering dianggap sebagai cara buat merasa lebih baik.
Kemajuan teknologi bikin belanja sekarang jadi lebih gampang. Cukup beberapa klik aja, barang yang kita mau bisa langsung datang ke depan pintu.
Ditambah lagi, banyak platform e-commerce yang nawarin promo-promo menggoda. Makanya, tanpa sadar kita sering “terjebak” dalam perilaku doom spending.
Meski kelihatan menyenangkan di awal, doom spending punya dampak negatif jangka panjang, terutama dalam hal keuangan.
Pengeluaran impulsif ini bisa bikin kita kesulitan menabung atau bahkan terlilit hutang.
Selain itu, doom spending juga bisa menciptakan lingkaran setan, di mana kita terus merasa cemas atau stres setelah belanja, lalu mengulangi kebiasaan itu lagi untuk merasa lebih baik.
Coba cek lagi, apakah kamu sering belanja pas lagi stres atau cemas? Sadari pemicu emosionalmu, dan coba cari cara lain. Meditasi, olahraga, atau bahkan ngobrol sama teman bisa jadi alternatif yang lebih sehat.
Tetapkan anggaran belanja bulanan, dan coba disiplin buat nggak melebihi batas itu. Catat juga pengeluaranmu, biar kamu tahu ke mana uangmu pergi setiap bulannya.
Jika ada akun media sosial yang bikin kamu merasa harus terus update barang-barang baru, jangan ragu buat unfollow. Pilih konten yang bikin kamu merasa nyaman, bukan yang bikin kamu merasa tertinggal.
Doom spending sering kali muncul karena kita butuh hiburan atau pelarian. Coba cari aktivitas lain yang bisa memberikan kebahagiaan, seperti hobi baru atau kegiatan sosial yang positif.
Doom spending adalah fenomena yang semakin marak di kalangan Gen Z, terutama karena tekanan sosial media dan ketidakpastian masa depan.
Meski belanja bisa memberikan kebahagiaan sesaat, penting untuk mengelola kebiasaan ini agar nggak berujung pada masalah keuangan jangka panjang.
Jadi, daripada terus-terusan terjebak dalam perilaku doom spending, yuk coba lebih bijak dalam mengelola pengeluaran dan mencari kebahagiaan.***