SERAYUNEWS—Pada 9 April 2001, Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Langkah revolusioner ini membuatnya mendapat gelar sebagai Bapak Tionghoa.
Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pada era Presiden Soeharto. Inpres ini melarang perayaan Imlek. Dengan pencabutan Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa kembali mendapatkan kebebasannya dan bisa merayakan Tahun Baru Imlek di Indonesia.
Selanjutnya, Gus Dur menindaklanjuti keputusan dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakan, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Pada 2003, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, keputusan ini berlanjut dengan penetapan Imlek sebagai hari libur nasional.
Pada masa Sukarno, Imlek boleh dirayakan secara terbuka karena mendapat pengakuan secara sah sebagai salah satu hari raya di Indonesia melalui Penetapan Pemerintah Nomor 2/UM/1946 tentang aturan hari raya.
Saat Soeharto berkuasa, ada penutupan sekolah dengan bahasa Cina, serta pelarangan lagu Mandarin dan penggunaan huruf Cina. Puncaknya adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Inpres tersebut melarang segala hal mulai dari agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina di Indonesia.
Gus Dur tidak hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa. Namun, mantan Presiden RI ini juga mensejajarkan mereka dengan semua kalangan yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku, dan adat istiadat.
Di kawasan Pecinan Semarang, penghormatan terhadap Gus Dur terwujud dalam bentuk sinci atau papan arwah yang ditempatkan di Gedung Rasa Darma Kelurahan Kranggan Kecamatan Semarang Tengah.
Pembina Perkumpulan Boen Hian Tong, Harjanto Halim, pada awal Agustus 2014 membuat sinci Gus Dur. Sebelumnya, mereka meminta izin kepada istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah.
Tepat pada 24 Agustus 2014, Sinta Nuriyah akhirnya menyerahkan kembali sinci kepada Harjanto Halim untuk dipasang di tempat sembahyang Gedung Rasa Darma. Sinci Gus Dur berjejer dengan sinci para leluhur.
Selain tulisan nama Abdurrahman Wahid, di sinci Gus Dur juga ada kalimat Cina. Kalimatnya: In hua zhibfu, Fu ruo guo shi, yang berarti Bapak Tionghoa Indonesia.
Seperti sinci pada biasanya, sinci Gus Dur juga terbuat dari kayu. Hanya saja, bagian atasnya berbentuk ornamen atap Masjid Agung Demak berjumlah tiga lapis dengan makna Iman, Islam dan Ikhsan.*** (O Gozali)