SERAYUNEWS— Hari jadi daerah bisa berubah, seperti Banjarnegara, sebelumnya 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571. Penetapannya berdasarkan penelusuran dan pengkajian dokumen sejarah dan studi komparasi.
Tidak hanya Banjarnegara, beberapa kota juga yang merubah hari jadinya. Hari jadi Kabupaten Kebumen misalnya, yang tadinya 1 Januari 1936 berubah menjadi 21 Agustus 1629.
Ada juga Kabupaten Sukabumi yang semula jatuh pada tanggal 1 Oktober 1945 menjadi 10 September 1870. Purworejo sebelumnya jatuh pada 5 Oktober 901 berubah menjadi tanggal 27 Februari 1831.
Misalnya, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Awalnya hari jadi kabupaten itu adalah setiap tanggal 27 Mei. Adapun tahun lahirnya pada 1831 M. Setelah melalui kajian sejarah, terjadi perubahan menjadi 4 Oktober 1830.
Terbaru, hari jadi Cirebon. Semula, peringatan hari jadi Cirebon jatuh pada 1 Muharam 791 Hijriah, berubah menjadi 1 Muharam 849 Hijriah.
Hari jadi provinsi pun juga ada yang mengalami perubahan. Provinsi Jawa Tengah contohnya, dari 15 Agustus 1950 menjadi 19 Agustus 1945.
Masih banyak kota lain yang mengubah hari jadinya. Jika kita telusuri, ternyata hari jadi daerah rupanya berbeda dengan hari ulang tahun.
Hari ulang tahun merujuk pada hari penetapan status daerah tersebut sebagai provinsi, kota, atau kabupaten pasca terbentuknya tata pemerintahan NKRI. Sementara itu, hari jadi adalah hari pertama kali terbentuknya pemerintahan di suatu wilayah. Terbentuknya pemerintahan bisa terjadi pada masa kerajaan-kerajaan berkuasa.
Kebanyakan daerah lebih memilih untuk merayakan hari jadi. Jadi, tak aneh jika usia daerah lebih tua dari usia negara ini.
Penetapan hari jadi daerah digunakan sebagai pemantik rasa kebanggaan masyarakat. Rasa kedaerahan dianggap bakal menyokong pembangunan karena didukung oleh rakyat. Hari jadi daerah dianggap sebagai penggugah semangat kepahlawanan yang berdasar pada narasi heroisme masa lampau.
Tidak ada yang salah, hanya saja jika merujuk pada buku karya Bambang Purwanto (2006) berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!?, Purwanto menggugat penulisan sejarah yang selama ini hanyalah pembalikan dari perspektif kolonialsentris. Oleh karena itu, penulisan sejarah menjurus pada nasionalisme dan heroisme berlebihan. Tidak heran apabila penetapan hari jadi suatu daerah pun cenderung bersifat politis, ultra nasionalis, dan penuh dengan retorika.
Semoga hal ini tidak terjadi, sejarah harusnya mencerahkan masa depan. *** (O Gozali)