Purwokerto, serayunews.com
Berasal dari keluarga tak mampu yang tinggal di Desa Cibunigeulis, Tasikmalaya, dengan ayah dan ibu hanya bekerja sebagai buruh tani dan harus menghidupi 10 orang anak, tidak menyurutkan semangat Ahmad untuk terus menuntut ilmu. Meski harus berjalan hingga 7 Km, Ahmad yang kala itu masih duduk di sekolah dasar (SD) tetap menjalaninya dengan semangat.
“Sepatu saya bagian bawahnya sampai habis, karena setiap hari untuk berjalan ke sekolah yang berjarak 7 Km dan orangtua tidak mampu membelikan sepatu baru,” tuturnya sesaat sebelum pengukuhannya sebagai guru besar, Kamis (2/6/2022).
Tak hanya itu, Ahmad bahkan pernah sampai dua bulan harus berjalan ngesot (berjalan sambil duduk menggunakan ban di pantat) ke sekolah, karena kakinya sakit akibat terjatuh saat menggembala kambing. Kondisi fisiknya tidak menyurutkan niat untuk tetap menimba ilmu.
“Karena tidak punya sepeda untuk mengantar ke sekolah, saya berjalan ngesot pulang-pergi ke sekolah selama dua bulan,” kata anak bungsu dari 10 bersaudara ini.
Memasuki SMP, jarak yang harus ditempuh Ahmad untuk bersekolah semakin jauh, yaitu sampai 9 Km dan tetap dilakukan dengan berjalan kaki. Kondisi sedikit membaik saat Ahmad masuk ke SMA, karena ia harus kos, sebab sekolahnya jauh dari rumah dan tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki.
Meskipun kos, namun ia tetap harus memilih tempat kos yang paling murah dan harus berhemat untuk hidup sehari-hari. Sehingga setiap pulang ke rumah seminggu sekali, Ahmad selalu membawa bekal beras serta lauk dari rumah.
“Biasanya saya bawa lauk ikan laut, karena lebih tahan lama, bisa untuk beberapa hari,” jelasnya.
Selepas SMA, Ahmad mengikuti tes Angkatan Darat (AD) di Bandung dan dinyatakan lolos. Ia pun kemudian di kirim ke Magelang untuk menempuh pendidikan lanjutan, namun nasib baik belum berpihak padanya. Cita-citanya menjadi TNI harus kandas karena ia tidak lolos pada tes pantukhir.
Kuliah di Yogyakarta
Gagal masuk TNI, Ahmad yang sudah berada di Magelang tak ingin pulang kampung halamannya dengan tangan hampa. Ia pun memantapkan diri untuk pergi ke Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Dengan bekal seadanya, Ahmad mulai mencari penghidupan di Yogyakarta. Ia memulai dengan berjualan buku di Pasar Beringharjo.
Hasil dari berjualan ia kumpulkan, hingga bisa mendaftar kuliah di IKIP Muhammadiyah Yogyakarta yang sekarang menjadi Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Kemampuan akademiknya yang bagus, membuat Ahmad mendapat kesempatan mengajar di SD Muhammadiyah saat masuk semester 2. Saat masuk semester 4, ia mendapat kesempatan untuk mengajar di SMK 3 Gowongan. Selanjutnya ia menjadi asisten dosen hingga menjadi dosen tetap selama 2 tahun di UAD.
“Sewaktu saya mulai kuliah, orangtua sama sekali tidak tahu. Mereka baru mengetahui setelah saya masuk semester 6, hal itu karena saya harus meminta tanda tangan orangtua untuk program beasiswa yang saya peroleh,” tuturnya.
Setelah menjadi dosen, Ahmad semakin mantap menapaki dunia pendidikan. Ia kemudian pindah ke UMP yang menjadi rumahnya sampai sekarang, saat ia meraih gelar profesor.
“Sejak dulu saya menyukai matematika, karena pelajaran ini mengundang rasa penasaran. Sehingga obsesi saya adalah bisa mengembangkan model pembelajaran matematika melalui berbagai media supaya bisa lebih mudah diterima,” kata guru besar yang saat ini juga tercatat sebagai dosen pakar bidang pembelajaran dan kurikulum di Kementerian Riset, Teknologi dan Dikti mengakhiri kisahnya.
Pengukuhan Prof Ahmad sebagai guru besar ini, semakin menambah banyak jumlah guru besar di UMP, yaitu menjadi 11 orang. Dalam orasi ilmiahnya, Ahmad mengangkat tema seputar blaned learning berbasis smart classroom dalam pembelajaran matematika.