SERAYUNEWS – Sudah barang tentu momen Idulfitri selalu umat Muslim nanti-nantikan. Selain identik dengan musim mudik, ada juga yang ikonik, yaitu pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) ke sanak saudara saat berkumpul.
Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang berburu uang baru dengan melakukan penukaran pada berbagai layanan yang tersedia di Bank Indonesia (BI) dan perbankan lainnya.
Namun, tidak sedikit yang kurang beruntung karena tak kebagian mendapatkan kuota penukaran dengan jumlah terbatas. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menggunakan jasa penukaran uang baru yang ada di pinggir jasa dan tempat lain.
Lantas, bagaimana hukum Islam menjawabnya? Apakah termasuk kedalam riba atau bukan? Temukan jawaban selengkapnya dari tim serayunews.com.
Selanjutnya, melansir dari laman resmi NU Online, masalah praktik penukaran uang ini cukup pelik. Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut.
Apabila kita ihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram. Praktik ini terbilang kategori riba.
Akan tetapi, kalau yang kita lihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat. Praktik ini terbilang kategori ijarah.
Pengertian ijarah sendiri adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang.
Karena ijarah adalah sejenis jual beli, ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini.
Artinya, “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
Untuk kelebihan uang yang diberikan sebagai upah pemilik jasa sendiri tidak ada ketentuan dalam fiqih, tapi dapat tergantung dari kesepakatan kedua pihak antara penerima jasa penukaran uang dan pemilik jasa.
Sementara itu jika melansir dari PWMU, sebagaimana dalam HR. Muslim No. 1584.
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Hadis di atas, dapat juga terbagi menjadi dua sisi. Pertama penukaran emas, perak, atau alat jual beli lainnya, yang saat ini kita sebut uang, jika sama nilainya, ini dibenarkan.
Kedua, apabila ada salah satu pihak yang menambah atau meminta tambahan, ini termasuk ke dalam riba.
Misalnya, praktik penukaran uang lama dengan uang baru di bank tanpa ada pengurangan atau penambahan nilai uang, maka itu dibenarkan.
Kemudian, jika kita menukar uang lama dengan uang baru yang tidak sama nilainya seperti contoh di atas, misalnya, menukar uang Rp. 110.000 dengan uang pecahan yang totalnya Rp. 100.000, inilah yang masuk ke dalam riba.
Wallahu A’lam Bishawab
***