SERAYUNEWS— Tahun ini Presiden Jokowi akan merayakan Idulfitri di Jakarta. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyampaikan rencana Presiden Jokowi akan menggelar open house pada Idulfitri yang rencananya jatuh pada Rabu (10/4) besok.
“Sementara dijadwalkan begitu (ada open house), rencana di Jakarta,” kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (5/4/2024).
Dalam bahasa Indonesia, open house dimaknai sebagai gelar griya, berarti terbukanya rumah untuk didatangi sesama politisi, pejabat untuk saling memaafkan.
Bagaimana jika rakyat yang datang ke open house? Apakah rakyat bersalah pada penguasa sehingga harus datang meminta maaf?
Open house menguat saat Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal, mirip raja-raja Jawa, mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. Kewibawaan semu pun terbangun.
Celakanya, orde baru sudah runtuh tetapi tradisi open house masih berjalan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan.
Tampilah Jokowi pada 2013, mencoba menghilangkan tradisi ini dan menggantikan dengan blusukan. Saat itu dia Gubernur DKI Jakarta, tidak melakukan open house melainkan blusukan meminta maaf kepada warga.
Menurut Jokowi pemimpinlah yang harus turun atau blusukan menemui rakyat untuk meminta maaf di hari yang fitri, bukan sebaliknya.
“Karena yang banyak salah itu pemimpinnya. Jadi yang ke kampung itu mestinya pemimpinnya. Bukan rakyatnya yang ke kita,” kata Jokowi saat halalbihalal dengan jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov DKI di Balai Kota, Jakarta, Kamis (8/8/2013).
Sayangnya, itu hanya terjadi satu kali. Idulfitri tahun berikutnya Jokowi sudah jadi Presiden. Dia langsung melakukan open house di Solo tepatnya di Graha Saba Buana pada 30 Juli 2014.
Sejak itu open house kembali dihidupkan dan budaya feodal tetap terawat. Bukti bahwa feodalisme itu ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara.*** (O Gozali).