SERAYUNEWS – Beberapa waktu terakhir, lini masa TikTok dipenuhi konten kesenjangan sosial. Dalam video tersebut, muncul percakapan singkat antara yang hidup dengan fasilitas lengkap dan yang keterbatasan.
Tanpa drama atau efek berlebihan, konten ini cukup dengan dialog dua orang dan backsound lagu “Just a Friend to You” dari Meghan Trainor. Hasilnya? Viral, lucu, dan menyentil.
Kemudian, tren ini bukan sekadar hiburan, tapi juga menyuarakan realita kesenjangan sosial yang seringkali dianggap biasa saja.
Mengutip dari Gramedia Blog, kesenjangan sosial adalah ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat, baik antarindividu maupun antarkelompok.
Selanjutnya, ketimpangan ini bisa dilihat dari akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, kesehatan, hingga hiburan.
Menurut teori Karl Marx, ketimpangan ini muncul karena struktur masyarakat yang terbagi dalam dua kelas besar: pemilik modal dan pekerja.
Lalu, mereka yang punya modal bisa menikmati akses lebih luas terhadap layanan, sementara yang lain harus berjuang lebih keras untuk hal-hal yang paling dasar.
1. Relatable
Banyak orang merasa ini menggambarkan kehidupan mereka. Yang tidak relate pun jadi lebih sadar akan kondisi orang lain.
2. Disampaikan dengan ringan
Meski temanya serius, penyampaiannya santai dan lucu. Humor membuat pesan lebih mudah diterima.
3. Musik yang pas
Lagu “Just a Friend to You” memberi nuansa melankolis yang bikin konten terasa menyentuh.
4. Bikin mikir
Banyak yang nonton lalu diam dan berpikir, “Oh iya ya, aku pernah mikir kayak gitu tanpa sadar.”
Konten-konten ini biasanya hanya menampilkan percakapan ringan dua orang dengan dunia yang sangat berbeda. Contohnya seperti ini:
– “Kran air kamu nyala terus.”
“Itu bukan kran, atap rumahku bocor.”
– “Nyetrika sekarang aja yuk.”
“Nggak bisa, nanti jeglek.”
“Loh, kok bisa?”
“Listriknya nggak kuat.”
– “Nanti kalau hujan gimana?”
“Kan pake mobil”
– “Tadi yang masakin siapa?”
“Mbak.”
“Oh, Mbak siapa?”
“Itu, Mbak ART.”
– “Aku mau cc an dulu ya”
“Itu apa? Ngegrill?”
– “Besok aku antar pakai mobil aja.”
“Nggak usah repot.”
“Tenang, supirku yang nyetir kok.”
– “Kamu berangkat sekolah naik apa?”
“Jalan kaki.”
“Lho, nggak dijemput mobil sekolah?”
– “Laper, makan apa?”
“Tumis oncom.”
“Itu makanan?”
– “Laptop kamu lemot banget.”
“Iya, ini laptop hibah dari sekolah.”
– “Pakai AC aja biar dingin.”
“Nggak ada AC di rumah.”
– “Nonton bioskop yuk!”
“Males, mahal.”
– “Kapan terakhir ke dokter gigi?”
“Waktu SD.”
– “Baju ini nyaman banget.”
“Aku beli di pasar, dapet 3 seratus ribu.”
– “Skincare kamu apa?”
“Sabun mandi aja.”
– “Pakai WiFi-nya kok lemot?”
“Aku pakai kuota, bukan WiFi.”
– “Kamu nggak jadi ikut?”
“Motorku dipakai ayah, di rumah cuma satu motor.”
– “Kamu tinggal di apartemen mana?”
“Aku ngontrak di gang belakang.”
– “Jam tangan kamu bagus.”
“Nabung dua bulan baru bisa beli.”
– “Bentar ya aku mau mancing dulu”
“Mancing ikan?”
“Mancing sanyo.”
Kalimat-kalimat ini sering terdengar absurd atau lucu, tapi banyak yang menyadari bahwa itu realita yang terjadi di sekitar kita.
Penutup
Tren TikTok tentang kesenjangan sosial membuktikan bahwa media sosial bisa jadi ruang refleksi. Dialog sederhana dalam video-video itu menyuarakan realitas yang selama ini tak terlihat.
Kadang yang kita anggap biasa saja, ternyata adalah kemewahan bagi orang lain.
Jadi, kalau kamu menonton konten seperti ini dan merasa aneh atau lucu dengan jawabannya, mungkin itu bukan lelucon. Mungkin itu kenyataan.***