SERAYUNEWS– Kemeterian Agama (Kemenag) RI merumuskan konsep kunjungan wisata religi agama Buddha di Candi Borobudur. Pendekatannya, yakni nilai spiritual kebudayaan dengan memperhatikan kepentingan pelestarian candi sebagai cagar budaya sekaligus bangunan keagamaan yang suci.
Pembahasan usulan ini bersama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Hal itu untuk mengoptimalkan Candi Borobudur sebagai bagian dari lima DPSP melalui pengembangan Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia.
Usulan Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas telah dapat persetujuan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahudin Uno dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Supriyadi menyebutkan, dengan pendekatan itu, kunjungan wisata religi agama dapat menghargai, mempelajari dan mendalami pengertian nilai ajaran dan fungsi edukasi, spiritual, dan religius dari Candi Borobudur sebagai rekaman Buddhadharma Nusantara.
“Melalui kunjungan wisata religi agama itu pula akan dapat terbangun perilaku saling mengapresiasi, menghormati, dan memperlakukan Candi Borobudur sebagai Living Spiritual Monumen dan sebagai sarana merit making,” ungkapnya dikutip serayunews.com dari laman Kemenag, Senin (31/7/2023).
Dengan demikian, kata dia, dapat terbentuk sarana pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan Candi Borobudur yang lebih langgeng. Pihaknya juga mengusulkan pemasangan Chatra Candi Borobudur. Payung bertingkat tiga di puncak stupa utama Candi Borobudur, pernah terpasang di tempat paling mulia pada masanya.
Kepala Sangha Sangha Theravadha Indonesia Bante Sri Pannyavaro mengungkapkan hal senada. Dia juga mengaku setuju dengan usulan pemasangan kembali Chatra Candi Borobudur. Menurutnya, memasang Chatra di puncak stupa utama Candi Borobudur merupakan penyempurnaan akan keagungan Candi Borobudur.
Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci juga mengatakan, tokoh agama Buddha menegaskan Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chatra atau payung mulia. Dari aspek tantra, chatra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis.
Kemudian, dalam praktik meditasi mandala tantra maka ornamen chatra pun selalu hadir dalam visualisasi. Dan keberadaannya tidak sekedar sebuah hiasan belaka, namun mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu.
Hal itu sebagaimana ada di dalam Arya Manggala Kuta Nama Mahayana Sutra. “Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya,” maka ketiadaan chatra akan ibarat tubuh tak berkepala.
Namun, usulan ini dapat penolakan para Arkeolog. Mereka menganggap pemasangan Chatra tidak memenuhi kriteria rekonstruksi arkeologi, karena persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru. Chatra itu pun akhirnya dilepas kembali.