SERAYUNEWS – Pelukis Djoko Pekik meninggal dunia Sabtu (12/8) di Yogyakarta dalam usia 86 tahun. Ia terkenal sebagai pelukis dengan spesialisasi lukisan serial celeng. Setidaknya ada tiga seri lukisan celeng yang sudah dihasilkannya, yaitu Susu Raja Celeng, Indonesia 1998 Berburu Celeng, serta Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Lukisan Indonesia 1998 Berburu Celeng laku dengan harga Rp 1 miliar dalam suatu pameran di Yogyakarta pada 1999.
Djoko Pekik pernah ditahan oleh rezim Orde Baru selama 7 tahun karena keanggotaannya di Lekra, Lembaga Kesenian Rakyat, yang beraifiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah bebas, Djoko menumpahkan kreativitas seninya untuk mengritik rezim Orde Baru.
Pada masa-masa menjelang reformasi, Djoko Pekik memperoleh kemasyhuran dengan karya-karya bertema celeng. Dalam sebuah pameran di Jogja yang dihadiri oleh Harmoko–menteri penerangan loyalis Soeharto–Djoko ditanya mengapa melukis celeng. Ia menjawab, celeng bukan sekadar binatang, tetapi personifikasi sifat rakus, tamak, kejam, munafik, dan angkara murka.
Trilogi lukisan tentang celeng itu merupakan refleksi atas suasana politik Orde Baru. Lukisan itu menggambarkan suasana reformasi 1998 ketika terjadi benturan antara kekuatan yang anti dan pro-Soeharto. Tidak bisa dimungkiri bahwa trilogi celeng itu adalah personifikasi dari Soeharto.
Budayawan dan rohaniwan Romo Sindhunata secara khusus menginterpretasikan trilogi celeng itu dalam buku ‘’Tak Enteni Keplokmu; Tanpa Bunga dan Telegram Duka’’ (1999). Ia menggambarkan perjalanan politik sang celeng sejak berkuasa dan dikerbuti banyak pengikut, sampai dengan kejatuhannya.
Dalam lukisan berjudul “Berburu Celeng” digambarkan seekor celeng berukuran jumbo, hitam, gemuk dengan posisi badan terbalik, diikat pada bambu dan digotong oleh dua lelaki kurus yang terlihat seperti mengalami busung lapar.
Kerumunan rakyat di sekitar celeng itu bersuka-ria, penuh kegembiraan, sambil menari-nari. Rakyat menyambut tertangkapnya celeng hitam dengan suka-cita. Rakyat yang berpesta digambarkan dalam warna-warni cerah yang kontras dengan warna celeng yang hitam legam.
Lukisan itu dibuat setelah kejatuhan Orde Baru untuk menggambarkan munculnya fajar yang merekah di era reformasi. Rakyat terlihat gembira, tenggelam dalam euforia. Seolah-olah dengan perginya Soeharto fajar baru yang indah dan cerah terbentang di depan mata. Tetapi, Sindhunata mencium gelagat yang beda. Dengan cemas ia bertanya, ”Celeng dhegleng sudah tertangkap, tapi mengapa di depan semuanya tambah gelap?”
Dalam tradisi mistis Jawa ada kepercayaan terhadap pesugihan yang bisa mendatangkan kekayaan secara instan. Pesugihan itu bisa dalam bentuk tuyul, babi ngepet, celeng gontheng, kodhok ijo, kandhang bubrah, Nyai Blorong, dan banyak lainnya.
Ritual pesugihan dilakukan dengan transaksi mistik, sebagaimana Faust yang menyerahkan hidupnya kepada setan. Para pemilik pesugihan dalam tradisi Jawa oleh Sindhunata–maupun dalam tradisi Barat oleh Goethe dalam Faust—adalah para pengabdi setan yang menumpuk kekayaan dan kekuasaan dengan menyerahkan dirinya kepada setan.
Tidak ada yang gratis dalam transaksi dengan setan. Si pemilik pesugihan bisa kaya dan kuasa, tapi harus ada tumbal yang diserahkan sebagai sajen kepada setan. Sebagai imbalan penyerahan diri, pemilik pesugihan akan dibantu oleh kekuatan jahat untuk memperoleh kekayaan dunia tanpa batas. Dengan pesugihan babi ngepet atau celeng gontheng, orang dapat mengubah dirinya menjadi celeng. Ia dapat berkeliaran ke mana-mana, mencuri dan mengeruk barang, harta, atau kekayaan sebanyak mungkin tanpa diketahui oleh siapa pun.
Dalam kepercayaan Jawa pesugihan celeng gontheng bisa mengeruk apa saja, mulai dari jagung, padi, ketela, dan palawija lain, lalu membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan makanan berlimpah bagi dirinya sendiri dan keluarga.
Celeng gontheng beroperasi dengan mendatangi orang yang sedang punya hajatan, lalu mencuri uang dan barang hasil hadiah hajatan. Karena itu orang Jawa yang punya hajatan menutup got atau peceren saluran air dan kotoran. Sebab, menurut kepercayaannya, disana celeng gontheng menunggu, lalu menyedot semua lewat saluran itu.
Dalam lanskap politik Indonesia beberapa waktu terakhir ini celeng-celeng itu kembali muncul. Hal itu berhubungan dengan persaingan calon presiden di kubu PDIP sebagai partai pemenang. Sebelum Ganjar Pranowo resmi dideklarasikan sebagai capres PDIP terjadi tarik-menarik yang kuat di internal PDIP antara yang pro dan anti-Ganjar.
Kelompok anti-Ganjar dikenal sebagai pendukung Puan Maharani. Di kelompok ini antara lain ada ketua PDIP Jawa Tengah Bambang Pacul yang dikenal sebagai loyalis Puan. Ketika itu Bambang Pacul memunculkan sebutan celeng untuk kader PDIP yang mendukung Ganjar. Muncullah kubu celeng vs banteng yang merepresentasikan kubu Ganjar vs Puan.
Setelah Ganjar resmi dideklarasikan pada 21 April 2023, suara-suara yang menyebut dikotomi banteng vs celeng mendadak senyap. Banteng dan celeng terlihat saling bersatu dan mungkin bertiwikrama menjadi makhluk yang lain.
Apakah celeng versi Djoko Pekik dan Sindhunata sudah pergi? Tampaknya belum. Celeng dilukis Djoko Pekik adalah celeng rakus terhadap kekayaan, yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan negara, untuk memperkaya diri, untuk korupsi, dan untuk melanggengkan kekuasaan pribadi dan keluarga. Celeng itu masih tetap ada. Celeng itu dikuasai nafsu kebinatangan dan tidak kenal prikemanusiaan, karena sifatnya kemanusiaannya sudah lenyap oleh kebinatangan.
Celeng Djoko Pekik adalah celeng gemuk dan rakus yang sekarang muncul di mana-mana, dari daerah sampai pusat. Walau sudah banyak yang ditangkap, tapi masih terus bermunculan. Celeng-celeng yang ditangkap itu hanya celeng anakan, sementara raja celeng masih tetap berkeliaran. Raja celeng yang loba, tamak, serakah, rakus, menumpuk kekayaan dan kekuasaan secara berlebihan tanpa peduli etika maupun agama. Raja celeng itu bisa saja bentuknya kurus, tapi kekuasaannya mengalahkan celeng-celeng yang gemuk.
Raja celeng itu makan dengan rakus sampai kekenyangan. Rakyat yang sudah bosan oleh tingkah laku raja celeng memburunya dan menangkapnya beramai-ramai. Rakyat yang marah akan memburu raja celeng dan menggantungnya beramai-ramai.*** (Dhimam Abror Djuraid)