SERAYUNEWS– Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek RI) menilai, banyak perbedaan antara Situs Liyangan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Arkeolog Senior Kemendikbudristek RI, Junus Satrio Atmodjo menjelaskan, dari sisi arkeologi, jika melihat struktur kompleks Situs Liyangan ini punden berundak sebetulnya, beda konsepnya dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Di mana ada bangunan tinggi besar dengan pagar-pagar berbentuk persegi yang mengelilingi. Sementara, di tempat itu undak-undakan. “Kita bisa lihat sisanya tidak ada candi besar, candinya kecil-kecil. Arca seperti di Prambanan juga tidak ada,” beber dia.
Di Situs Liyangan yang lebih utama pemujaan pada nenek moyang. Hal ini menurut hipotesis-nya, itu sebabnya peletakan di daerah pegunungan (punden berundak) karena puncak gunung sebagai tempat tinggal nenek moyang dan ketemu juga dari sisi mitologi Hindu-Buddha.
Puncak gunung itu kerajaan Dewa Indra penguasa gunung dan surga. Bayangannya surganya ada di sana. Selain itu, kemajuan peradaban di Situs Liyangan juga bisa terlihat dengan adanya keramik dari Cina era Dinasti Tang sekitar abad 8-9 Masehi.
Terdapat penemuan pecahan kaca yang kemungkinan berasal dari Timur Tengah (Persia dan Arab). Pihaknya menggambarkan peradaban orang Jawa, yang selalu digambarkan dengan Borobudur, Prambanan, itu di daerah dataran rendah yang kaya dengan padi, daerah subur, orangnya banyak bisa bikin bangunan besar.
Junus mengatakan, pihaknya mempunyai bukti keterkaitan itu, yakni dengan adanya kapal dari Arab yang tenggelam di perairan Belitung Barat. Kapal itu membawa barang-barang dagangan dari Cina dan barang-barang lokal (nusantara).
Dari data kemudian digabungkan mulai dari tenggelamnya kapal dengan barang-barang yang sama di Borobudur dan Prambanan pada masa itu. Hal itu membuktikan saat itu sudah ada hubungan penduduk di daerah pegunungan, dengan dunia maritim luar, sehingga sangat menarik bagi kajian arkeologi dan sejarah.
Yang tak kalah menarik, juga bagaimana peran para pendeta mengawal pertumbuhan agama Hindu-Buddha dari sisi keagamaan. Bahkan menjadi pertanyaan, apakah mereka orang India atau orang Jawa yang telah memeluk agama Hindu-Buddha.
Saat ini, pihaknya sedang melakukan pengukuran wilayah arkeologi, dengan pengumpulan data, pemotretan menggunakan drone dan lapisan geologi paling bawah. Kemudian mengecek batas dari daerah yang akan diusulkan sebagai cagar budaya nasional.
Untuk selanjutnya, akan ada pemilahan mana yang akan jadi tempat konservasi, termasuk sebaran, hingga memproteksi batas-batasnya, seperti sungai, batas jalan dan lain sebagainya. Adapun untuk luas lahan nantinya, terang Junus, bisa berubah tergantung penemuan hal penting, data baru.
Hal yang lebih penting, saat ini memproteksi agar Temanggung memiliki kekayaan yang mendapat pengakuan nasional dan pengelolaannya secara bersama. Menurut Junus, tugas timnya mengawal hal ini, mengumpulkan materi untuk sidang.
Timnya ingin membangkitkan kesadaran pentingnya Situs Liyangan ini. “Kembalinya pada Temanggung, kita bantu bersama-sama. Bahan kita kumpulkan untuk jadi kajian Tim Cagar Budaya Nasional,” tutupnya.