Di masa penjajahan Belanda, diskriminasi muncul tak keruan. Orang-orang Belanda yang berada di kasta teratas, sementara orang pribumi di level paling bawah. Selain itu, situasi yang mendera pribumi Jawa, khususnya petani juga tidak mengenakkan.
Belanda menyebut petani Jawa sebagai pemalas. Penilaian itu muncul karena hasil panen petani terlihat tidak sesuai dengan harapan. Padahal, hasil panen yang tak sesuai harapan itu hanyalah imbas dari pemerasan. Stigma malas itu pun merembet pada orang Jawa secara umum.
Clive Day (1904) seperti dibeberkan Mubyarto menyebut, petani Jawa seperti biasa akan panen di masanya. Nah, di masa panen itu ternyata bukan menjadi berkah, tapi musibah. Saat panen, petani Jawa diperas luar biasa oleh perangkat atau bekel. Imbasnya, petani terlihat mendapatkan hasil panen yang tidak banyak.
Lalu, mengapa perangkat itu memeras petani? Perangkat memeras untuk memberi banyak upeti pada Belanda. Mereka yang memberi upeti akan kembali bisa menjadi perangkat atau bekel. Akhirnya, jabatan perangat diberikan pada siapa yang bisa memberi upeti paling banyak.
Maka, jika Belanda menilai pribumi malas, itu juga salah satunya karena sikap Belanda yang meminta upeti. Upeti yang didapatkan dari perangkat. Sementara, perangkat mendapatkan upeti dari hasil memeras petani. Ini seperti lingkaran setan.
Di masa jauh sebelum tulisan Day, Thomas Stamford Raffles juga membuat tulisan tentang sejarah Jawa. Salah satunya adalah fenomena Belanda yang tak paham dengan realitas petani. Hal itu terjadi karena pegawai sering menyumbat keluhan petani.
Imbasnya, keluhan petani hanya sampai pada pegawai di pemerintahan. Sementara, pemegang kebijakan tak pernah tahu apa itu keluhan petani. Jika melihat tulisan Raffles pada 1817 dan tulisan Day pada 1904, artinya ada kesamaan nasib petani dalam rentang waktu hampir 100 tahun.
Petani di masa penjajahan ditindas oleh pegawai pemerintahan, ditindas oleh perangkat. Fenomena tanam paksa yang muncul pada 1830 juga menegaskan posisi petani yang menyedihkan. Sebab, petani dipaksa menanam tanaman ekspor untuk kepentingan Belanda. Belum lagi adanya UU Agraria yang memungkinkan tanah warga dicaplok untuk kepentingan Belanda.
Referensi:
Mubyarto. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan