SERAYUNEWS – Polemik mengenai jumlah rakaat shalat tarawih dan witir, apakah 23 atau 11 rakaat, masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim Indonesia. Di berbagai belahan dunia, perbedaan ini mungkin tidak lagi menjadi isu yang menyita perhatian.
Namun, di Indonesia, diskusi ini terus berulang, seakan menjadi siklus yang tak berkesudahan. Padahal, shalat tarawih dan witir adalah ibadah sunah yang tidak bersifat wajib.
Lantas, mengapa perbedaan ini justru kerap memicu ketegangan dan perpecahan?
Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, dalam artikelnya kepada serayunews.com menyebutkan bahwa perdebatan ini mencerminkan tantangan umat Muslim Indonesia dalam menerima perbedaan, bahkan dalam aspek furu’iyyah atau cabang dalam ajaran Islam.
Islam sendiri mengajarkan nilai toleransi dan penghormatan terhadap keragaman. Oleh karena itu, alih-alih menjadikannya sebagai pemicu perpecahan, perbedaan ini seharusnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk saling melengkapi dan memperkaya wawasan keagamaan.
Daripada terus memperdebatkan jumlah rakaat, umat Muslim seharusnya lebih fokus pada substansi ibadah dan bagaimana mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan besar seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan ketidakadilan sosial membutuhkan perhatian dan energi lebih besar dibandingkan perdebatan tentang jumlah rakaat shalat tarawih.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas-ormas Islam memiliki peran strategis dalam meredam polemik ini. Melalui dialog yang konstruktif, para pemuka agama dapat menjadi jembatan untuk menyatukan perbedaan pandangan.
Dengan begitu, umat Islam dapat menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi teladan dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Selain itu, bulan Ramadan harus menjadi momentum memperkuat ukhuwah Islamiyah, bukan sebaliknya. Ironisnya, terkadang jumlah jamaah shalat tarawih lebih banyak dibandingkan jamaah shalat wajib seperti subuh.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dalam menjalankan ibadah wajib perlu lebih diperhatikan dibandingkan sekadar membahas amalan sunah.
Sejumlah masjid di Indonesia telah berhasil mengoptimalkan perannya, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan umat.
Contohnya, Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Al-Falah di Sragen, dan Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi.
Masjid-masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah, tetapi juga menjadi pusat ekonomi, pendidikan, dan sosial bagi masyarakat sekitarnya.
Sayangnya, masih banyak masjid yang hanya mengedepankan kemegahan fisik tanpa program pemberdayaan yang konkret. Banyak masjid yang hanya ramai pada awal Ramadan, tetapi kembali sepi menjelang akhir bulan suci.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masih diperlukan peningkatan kesadaran untuk menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas yang berkelanjutan bagi umat.
Dalam ranah akademik dan sosial, penting untuk mengedepankan moderasi dalam beragama.
Perbedaan pandangan dalam aspek furu’iyyah, seperti jumlah rakaat tarawih, tidak seharusnya menjadi penghalang dalam membangun sinergi di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Moderasi beragama adalah kunci untuk menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan. Ukhuwah Islamiyah harus terus diperkuat agar perbedaan pendapat tidak merusak persaudaraan umat.
Para ulama terdahulu telah memberikan contoh bagaimana mereka tetap saling menghormati meskipun memiliki pandangan yang berbeda. Dengan meneladani sikap mereka, umat Islam masa kini dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan.
Sudah saatnya umat Muslim Indonesia mengakhiri perdebatan mengenai jumlah rakaat tarawih dan witir.
Alih-alih menguras energi untuk hal yang tidak produktif, lebih baik fokus pada permasalahan yang lebih mendesak, seperti kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup umat.
Dengan semangat toleransi, moderasi beragama, dan ukhuwah Islamiyah, umat Muslim dapat membangun peradaban yang lebih baik dan bermartabat. Masjid dan musala harus menjadi pusat penguatan pendidikan, ekonomi, dan sosial, bukan sekadar tempat beribadah.
Semoga Ramadan tahun ini menjadi momentum untuk mempererat persaudaraan dan menjadikan Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin”, rahmat bagi seluruh alam.***