SERAYUNEWS– Sebuah spanduk sindiran untuk PP Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bertuliskan ‘Dipisahkan Qunut, Disatukan Tambang’ terpampang.
Spanduk tersebut ada di sela-sela aksi simbolik Forum aktivis Cik Di Tiro di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa), Gamping, Sleman. Tempat itu menjadi lokasi rapat pleno PP Muhammadiyah Sabtu (27/7/2024).
Namun, sindiran dan kritik tak membuat Muhammadiyah bergeming. Pada akhirnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan menerima tawaran izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Mereka memutuskan hal itu dalam rapat konsolidasi nasional PP Muhammadiyah pada Minggu (28/7/2024) di Yogyakarta.
“Setelah mencermati masukan, kajian, serta beberapa kali pembahasan, rapat pleno PP Muhammadiyah pada tanggal 13 Juli 2024 memutuskan menerima IUP yang ditawarkan oleh pemerintah,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dikutip dari tayangan Youtube Muhammadiyah Channel.
Lebih lanjut, mengelola pertambangan tidak haram. Manusia mendapat wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sebaik-baiknya kekayaan alam untuk kesejahteraan hidup material dan spiritual dengan tetap menjaga keseimbangan serta tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
“Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan (9 Juli 2024) antara lain menyatakan bahwa Pertambangan sebagai aktivitas mengekstraksi energi mineral dari perut bumi masuk dalam kategori muamalah atau perkara-perkara duniawi, yang hukum asalnya adalah boleh sampai ada dalil, keterangan, atau bukti yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram,” ujar Mu’ti.
Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 yang memberi izin pengelolaan tambang kepada ormas keagaamaan, NU menerimanya. PBNU menyatakan sikap resmi pada Kamis (6/6/2024).
NU dan Muhammadiyah memiliki perbedaan kontras. Satu memiliki ritual Islam konvensional, satunya lagi lebih pada moderasi beragama.
Perbedaan penentuan awal Ramadan dan Idulfitri selalu terjadi setiap tahunnya. NU menggunakan hisab rukyatul hilal (pengamatan mata), sedang Muhammadiyah menggunakan hisab wujudul hilal hakiki (ilmu astronomi).
Selain itu, NU menggunakan doa qunut dalam salat subuh, sedang Muhammadiyah tidak. Muhammadiyah, mengikuti pendapat fiqih Imam Abu Hanifah yang tidak qunut subuh. Sementara itu, warga NU mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang qunut subuh.
Kala keduanya tak bisa mendapat titik temu dari cara beragama, PBNU dan Muhammadiyah justru memiliki cara pandang yang sama soal usaha tambang.***(Kalingga Zaman)