Di masa kolonial, Banyumas adalah wilayah yang subur. Setelah kemenangan Belanda atas Pangeran Diponegoro pada 1830, maka perubahan dimulai. Belanda dalam hal ini tentunya Hindia Belanda, meminta jatah wilayah Banyumas (dalam hal ini wilayah eks Karesidenan Banyumas di masa modern) pada Surakarta. Sebab, Banyumas masuk wilayah Surakarta.
Dalih Belanda adalah, pihaknya mampu mengamankan Surakarta dari pemberontak yakni Pangeran Diponegoro. Singkat cerita, Belanda melakukan sistem tanam paksa di beberapa wilayah, salah satunya di Banyumas.
Tanam paksa adalah mewajibkan petani memberi seperlima lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor, misalnya tebu, nila kayu manis, kopi. Hasilnya tentu saja dinikmati Belanda. Untuk merealisasikan sistem itu, maka Banyumas dirombak. Ada perbaikan insfrastruktur di Banyumas.
Lalu, untuk mengangkut hasil bumi di daerah pedalaman Banyumas, dimanfaatkanlah Sungai Serayu. Namun, masalah muncul karena ujung Sungai Serayu tak persis ke Pelabuhan Cilacap. Dari ujung Sungai Serayu di Samudra Hindia, perahu harus dilayarkan ke Pelabuhan Cilacap.
Persoalannya ternyata tak mudah. Sebab, ombak besar bisa mengancam perahu yang berjalan dari muara Serayu ke Pelabuhan Cilacap. Tak hanya itu, di muara Sungai Serayu ternyata ada gundukan pasir besar yang menyulitkan kapal untuk mengambil barang.
Maka, sejak 1831 dibangunlah terusan yang menghubungkan aliran Sungai Serayu ke Pelabukan Cilacap. Terusan itu dinamakan Kali Yasa. Pembangunan Kali Yasa ini memakan waktu sampai lima tahun. Pada 1836, selesailah pembangunan itu.
Dengan demikian distribusi hasil bumi di pedalaman Banyumas bisa melalui Sungai Serayu dan terus ke sodetan Kali Yasa untuk kemudian ke pelabuhan. Maka, adanya Kali Yasa memudahkan Belanda melakukan eksploitasi hasil bumi, khususnya yang layak impor melalui Kali Yasa dan Pelabuhan Cilacap.
Maka, banyak keuntungan yang didapatkan Belanda dengan pembangunan Kali Yasa. Sampai kemudian, kesulitan menghantam di masa zaman malaise di tahun 1930-an. Zaman di mana perekonomian dunia ambruk. Indonesia yang belum merdeka pun mendapatkan dampaknya.
Kesulitan ada di mana-mana. Bahkan, pengemis pun menjamur. Pekerja kehilangan pekerjaannya. Zaman malaise ini sering dipelesetkan dengan zaman meleset.
Referensi: Aland Budi Permana: Pelabukan Cilacap pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1830-1942