Purbalingga, serayunews.com
Dalam RUU KIA ini, salah satunya membahas soal cuti hamil bagi pekerja perempuan. Dalam rancangan ini, pekerja perempuan yang hamil dapat cuti sampai enam bulan. Durasi itu lebih lama daripadar aturan sebelumnya, yang hanya memberikan waktu tiga bulan.
Selain soal lama waktu, selama cuti itu, pekerja tetap mendapat gaji selama tiga bulan. Aturan ini cenderung memberikan keuntungan bagi pekerja. Namun, berbeda bagi pengusahanya yang merasa rugi jika aturan itu berlaku.
Seorang pekerja pabrik bulu rambut di Purbalingga, ia sangat setuju jika RUU itu menjadi UU. Kurun waktu enam bulan, sangat cukup bagi ibu yang habis melahirkan.
“Itu cocok banget buat aku yang sedang hamil dan aku setuju banget. Karena ibu melahirkan butuh waktu untuk memberi asi yang cukup,” kata Tini.
Selama cuti tetap mendapat gaji pokok itu menjadi kewajiban. Meskipun hanya mendapatkan gaji pokok, namun aturan itu pun selama ini belum sepenuhnya terlaksana.
“Selama cuti itu memang seharusnya dibayar oleh perusahaan-perusahaan, tapi sayang PT ku ga kaya gitu,” ujarnya.
Tini menyampaikan, biasanya pekerja perempuan yang hamil, mengambil cuti mulai usia kandungan delapan bulan. Lama cuti sampai tiga bulan. Waktu tiga bulan itu masih terlalu minim, karena sisa waktu satu bulan setelah melahirkan hanya sekitar satu bulan.
“Biasanya 3 bulan cuti kalau sekarang 6 bulan mungkin cukup lah, kalau 1 tahun ngga mungkin dong kelamaan,” katanya.
Pekerja lain, Nurul, juga setuju jika RUU KIA ini bisa terealisasi. Sebab memberikan keuntungan bagi pekerja. Kondisi hamil dan melahirkan memang memerlukan waktu istirahat total.
“Setuju sekali, kalau tiga bulan sebenarnya terlalu singkat. Apalagi waktu paska melahirkan itu yang butuh banyak istirahat,” katanya.
Berbeda pendapat dari kalangan pengusaha. Adanya RUU ini perlu dipertimbangkan lebih dalam lagi. Bukan hanya soal waktu saja, namun bagaimana efektifitas bagi pekerja. Apakah bisa menggugah semangat kerja lagi setelah istirahat yang terlalu lama.
“Apakah dengan adanya tambahan cuti melahirkan jd 6 bulan, akan memberikan dampak yg menguntungkan bagi pekerja perempuan dan jg karyawan?,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aspindo) Purbalingga, Rocky Djunjungan.
Selain itu, menurut Rocky, dalam membuat kebijakan seperti itu perlu juga melihat bagaimana kebijakan serupa di negara lain. Khususnya negara yang menjadi kompetitor pada sektor usaha yang sama.
“Kita juga harus melihat kebijakan cuti di negara lain, negara kompetitor untuk barang-barang yang sejenis dengan export kita. Kalau di sini dianggap cuti itu terlalu lama, maka perusahaan akan mempertimbangkan untuk berinvestasi di sini,” katanya.
Pertimbangan lain, melihat posisi pengusaha. Karena itu sudah berkaitan dengan jumlah produksi. Jika jumlah karyawan berkurang karena cuti, tentu akan berdampak pada produksi. Efeknya bisa saja tidak tercapai target produksi untuk pelanggan.
“Cuti yang terlalu lama akan memaksa perusahaan untuk mencari pengganti untuk posisi kosong tsb. Dan bila karyawan yang cuti tersebut masuk lagi, manajemen pasti akan membandingkan produktivitas atas 2 orang yang berada di posisi sama,” ujarnya.
Namun, jika RUU itu akhirnya tetap an menjadi UU, maka seluruh perusahaan bukan hanya swasta tapi juga milik pemerintah dan juga pemerintah pusat dan daerah harus menjalankan. Karena tujuannya untuk kesejahteraan ibu dan anak. Jadi, Sebaiknya perlu pengkajian lagi aturan ini,” katanya.