
SERAYUNEWS – Muncul petisi bertajuk “Batalkan Pelaksanaan TKA 2025” yang dibuat oleh seorang siswa bernama Agit pada Minggu, 26 Oktober 2025, melalui laman Change.org.
Dalam keterangannya, Agit menulis, “Sistem ini menambah tekanan bagi siswa dan siswi.”
Ia mengaku resah karena TKA 2025 tiba-tiba diterapkan, padahal sebelumnya sekolahnya menggunakan Kurikulum Merdeka yang tidak mengenal sistem ujian ini.
Agit menyebut, keputusan pelaksanaan TKA diumumkan secara mendadak dan minim sosialisasi.
“Kami baru mendengar kabar resmi soal TKA pada pertengahan tahun, tapi ujian dijadwalkan hanya beberapa bulan setelahnya,” tulisnya dalam petisi.
Tes Kemampuan Akademik (TKA) merupakan sistem evaluasi baru yang digunakan pemerintah untuk mengukur capaian akademik siswa SMA/SMK/MA di tahun akhir.
Nilainya bahkan akan menjadi salah satu syarat seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur prestasi tahun 2026.
Namun, yang membuat banyak pelajar resah bukan hanya soal sistemnya, melainkan waktu pelaksanaan yang terlalu dekat dengan pengesahan aturan.
Menurut data yang beredar, TKA pertama kali dikabarkan pada 8 Juni 2025, lalu ditetapkan secara resmi melalui “Perkaban Nomor 45 Tahun 2025” pada 14 Juli 2025.
Dengan jadwal pelaksanaan pada 3–9 November 2025, artinya siswa hanya punya sekitar 112 hari atau 3,5 bulan untuk mempersiapkan diri.
Bagi siswa SMA, waktu tersebut terasa sangat singkat. Apalagi mereka juga tengah disibukkan dengan ujian sekolah, tugas akhir, hingga persiapan seleksi masuk perguruan tinggi.
Masalah lain yang banyak dikeluhkan adalah keterlambatan pengumuman kisi-kisi soal TKA.
Dokumen berisi panduan materi baru dibagikan setelah aturan resmi terbit pada pertengahan Juli 2025.
Akibatnya, guru dan siswa tidak memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan materi pembelajaran dengan format baru.
Agit menulis dalam petisinya bahwa para guru sempat membuat perkiraan soal berdasarkan kisi-kisi tersebut, namun ternyata tidak sesuai dengan simulasi resmi yang kemudian diadakan.
“Akibatnya, perkiraan soal baru dirancang kembali oleh para guru setelah simulasi TKA online pertama,” tulisnya.
Selain itu, banyak siswa menilai cakupan materi terlalu luas, tidak fokus, dan sulit diprediksi. Hal ini membuat mereka kesulitan menentukan prioritas belajar.
“Kami belajar banyak hal, tapi tidak tahu mana yang akan keluar di ujian,” tulis salah satu komentar yang ikut menandatangani petisi tersebut.
Menjelang pelaksanaan resmi TKA pada awal November, pemerintah menyelenggarakan gladi bersih nasional pada 27–30 Oktober 2025.
Sayangnya, kegiatan simulasi ini justru memunculkan persoalan baru. Menanggapi hal ini, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Toni Toharudin mengakui adanya gangguan teknis. I
Selain aspek teknis dan administratif, muncul pula kekhawatiran soal dampak psikologis terhadap siswa.
Banyak pelajar merasa stres dan cemas karena TKA datang di saat mereka sudah disibukkan dengan banyak kegiatan akademik. “Sistem ini menambah tekanan,” tulis Agit.
Guru dan orang tua juga mulai menyuarakan keresahan yang sama. Menurut mereka, siswa yang sebelumnya fokus mengikuti pembelajaran Kurikulum Merdeka kini harus beradaptasi mendadak dengan format ujian berbasis kemampuan akademik.
Kondisi ini menimbulkan perdebatan di kalangan pendidik: apakah sistem baru ini benar-benar siap diterapkan secara nasional, atau justru memperlebar kesenjangan antara sekolah yang siap dan yang belum.
Meski belum ada pernyataan resmi untuk menunda pelaksanaan, pihak Kementerian Pendidikan melalui Pusat Asesmen Pendidikan disebut sedang melakukan evaluasi.
Pemerintah menegaskan bahwa TKA dirancang sebagai langkah menuju standarisasi kualitas pendidikan nasional dan bagian dari proses seleksi PTN berbasis prestasi.
Namun, gelombang kritik melalui petisi menunjukkan bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang.
Banyak pihak meminta agar pelaksanaan TKA tidak dipaksakan sebelum sistemnya benar-benar matang dan seluruh sekolah siap secara teknis maupun akademis.
Petisi yang dibuat Agit kini telah memperoleh ratusan ribu tanda tangan dan terus bertambah.
Ini menandakan betapa besar keresahan yang dirasakan para pelajar di seluruh Indonesia.***