
SERAYUNEWS – Digitalisasi telah mengubah wajah pariwisata secara drastis. Bagi Community Based Tourism (CBT), teknologi adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah jembatan emas yang menghubungkan desa terpencil langsung ke pasar global; di sisi lain, ia berpotensi menggerus keunikan dan otentisitas lokal jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Opini saya, komunitas CBT harus merangkul digitalisasi, tetapi dengan strategi yang cerdas: memanfaatkan teknologi untuk pemasaran dan manajemen, namun tetap mempertahankan interaksi tatap muka sebagai inti produk wisatanya.
Kekuatan utama sebuah desa wisata berbasis komunitas adalah cerita, kearifan lokal, dan interaksi personal. Platform digital seperti media sosial, website sederhana, atau Online Travel Agent (OTA) lokal adalah alat yang sempurna untuk menyampaikan cerita ini.
Pemasaran Naratif: Daripada menjual “pemandangan indah,” CBT harus menjual pengalaman hidup. Video pendek tentang proses memanen kopi, postingan Instagram tentang resep masakan turun temurun yang diajarkan oleh ibu-ibu desa, atau testimoni tulus dari wisatawan yang merasa seperti “pulang ke rumah.” Konten jenis ini menciptakan hubungan emosional yang jauh lebih kuat daripada sekadar foto selfie di depan objek wisata.
Akses Pasar Langsung: Digitalisasi memungkinkan desa untuk memotong rantai perantara yang panjang. Dengan mengelola pemesanan homestay dan paket wisata secara mandiri melalui website atau aplikasi pesan, komunitas dapat memastikan pendapatan maksimal langsung masuk ke kas desa. Ini adalah pemberdayaan ekonomi riil.
Namun, tantangan terbesar terletak pada kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kebanyakan pengelola CBT adalah masyarakat dengan latar belakang non-teknologi. Mereka mungkin pandai beternak, menenun, atau bertani, tetapi kesulitan dengan SEO, algoritma media sosial, atau manajemen data.
Gap Digital: Pemerintah dan pihak swasta harus fokus pada program literasi digital yang sangat praktis dan relevan, bukan sekadar teori. Mengajarkan cara memotret yang baik dengan smartphone, cara mengelola kalender reservasi online, dan cara merespons review wisatawan adalah keterampilan esensial saat ini.
Selain itu, komunitas harus waspada terhadap ketergantungan berlebihan pada satu platform besar. Diversifikasi channel pemasaran, termasuk upaya promosi dari mulut ke mulut yang berbasis kualitas layanan, tetap tak tergantikan.
Pemanfaatan digital harus berhenti di gerbang desa. Begitu wisatawan tiba, ponsel harus dikesampingkan dan interaksi otentik harus dimulai. Jangan biarkan homestay atau aktivitas di desa menjadi sekadar latar belakang untuk konten digital.
Digitalisasi harus menjadi alat untuk membawa orang ke tempat, tetapi nilai dari tempat itu harus tetap manusiawi dan tanpa layar. Dengan keseimbangan ini, CBT dapat menjangkau dunia sambil tetap memegang erat identitas dan jiwa lokalnya.
Artikel ini ditulis oleh: Raharja Tri Kumuda – Praktisi Hospitality***