
SERAYUNEWS – Ketika kita bicara tentang pengembangan pariwisata, perhatian seringkali tertuju pada hal-hal fisik: jalan yang mulus, hotel berbintang, dan koneksi internet yang cepat. Namun, dalam konteks Community Based Tourism (CBT), saya berani berpendapat bahwa fokus ini adalah paradigma yang keliru.
Infrastruktur fisik memang penting, tetapi bensin utama yang menggerakkan dan memastikan keberlanjutan CBT adalah Modal Sosial (Social Capital).
Tanpa modal sosial yang kuat yaitu, kepercayaan, jejaring, dan norma resiprositas di dalam komunitas, proyek pariwisata sebesar apa pun akan mudah runtuh.
Modal sosial adalah alasan mengapa satu desa wisata bisa sukses luar biasa sementara desa lain yang memiliki potensi alam setara justru stagnan. Keberhasilan ini tidak diukur dari seberapa mewah homestay mereka, melainkan dari seberapa solid kekompakan warganya.
Sayangnya, modal sosial ini sangat rentan. Dua ancaman terbesar adalah egoisme individu/kelompok kecil dan intervensi luar yang tidak terkoordinasi.
Seringkali, setelah pariwisata mulai ramai, muncul godaan bagi individu atau keluarga tertentu untuk memonopoli keuntungan atau mengambil jalan pintas, yang merusak sistem yang telah disepakati bersama.
Di sisi lain, intervensi dari pemerintah atau investor luar yang memberikan bantuan tanpa melibatkan proses musyawarah yang tulus seringkali justru melemahkan inisiatif dan kemandirian komunitas, membuat mereka bergantung dan menghilangkan rasa kepemilikan.
Oleh karena itu, bagi saya, investasi terbaik dalam CBT bukanlah membangun jalan, tetapi membangun karakter dan organisasi komunitas. Pelatihan harus fokus pada:
Ketika modal sosial menjadi prioritas utama, CBT akan menjadi tahan banting, mampu melewati masa-masa sulit (seperti pandemi), dan mampu mempertahankan jati dirinya dari gempuran pariwisata massal. Modal sosial adalah aset terpenting yang tidak dapat dibeli oleh investor mana pun, dan itulah yang membuat CBT begitu berharga.
Artikel ini ditulis oleh: Raharja Tri Kumuda – Praktisi Hospitality***