SERAYUNEWS— Kentongan, ketika dipukul, alat ini akan mengeluarkan suara tong tong sehingga dinamai kentongan. Gong, ketika dipukul berbunyi gong gong sehingga dinamakan gong.
Kata gebrak, berasal dari suara tangan memukul meja berbunyi brak. Tokek, nama hewan ketika bersuara menghasilkan bunyi tokek tokek.
Pemberian nama pada suatu kata yang didasarkan pada bunyinya itu dinamakan onomatope.
Istilah onomatope berasal dari bahasa Yunani, berarti kata atau sekumpulan kata yang bunyinya mirip atau menyerupai sumber aslinya. Bunyi dalam onomatope bisa terinspirasi dari suara hewan, manusia, atau lainnya.
Uniknya, tiap negara mempunyai onomatope yang berbeda, termasuk Indonesia. Perbedaan ini berdasar pada representasi dan bagaimana masyarakat atau bangsa mengasumsikannya.
Suara anjing menggonggong misalnya, orang Indonesia menyebutnya guk guk. Orang Inggris ternyata tak sepakat. Menurut mereka, suara anjing menggonggong adalah woof woof.
Tidak hanya beda negara, satu pulau saja bisa beda penyebutannya. Bahasa Jawa menyebutnya kukuruyuk. Namun bahasa Sunda berbeda dalam menyuarakannya sebagai kongkorongok.
Ternyata dalam bahasa Indonesia, meski ayam jago disebut berkokok, suara berkokok bukan kokokokok, melainkan kukuruyuk.
Jaya Suprana bahkan secara onomatopeiais berusaha mempelajari suara ayam jago berkokok dalam aneka bahasa. Ketertarikan Jaya Suprana mungkin terkait usaha pabrik jamu Jago yang dia jalankan.
Menurut Jaya Suprana, bahasa Inggris suara ayam jago berkokok cukup puitis yaitu cock-a-doodle-do, sementara kokok ayam jago Italia ditulis sebagai chichirichi dan ayam jago Spanyol berkokok kikiriki. Seolah ayam jago Italia dan Spanyol memang lebih suka lafal i daripada hai.
Ayam jago Perancis yang di komik Asterix selalu nyaring berkokok cocorico malah terkesan meksikanis. Bahasa Belanda kokok ayam jago: kukeleku, Denmark: kykyliky, Finlandia: kukko klekuu, Jerman: kikeriki, Yunani: kikiriku, Ibrani: cookoorikoo, Hungaria: kukuriku.
Di pedesaan Okinawa suara ayam jago Jepang berkokok kok-e-kok-ko. Dalam bahasa Korea tertulis sebagai ko-ki-oh. Ayam jago Vietnam berkokok OOO atau ayam jago Thailand ek-i-ek-ek. Ayam jago Iran: ququ li qu, sementara ayam jago Skotlandia: gog-a-ghuide-ghaoidhe. Di Tiongkok agak unik karena mirip salak anjing Indonesia guk guk, yaitu gu gu gu.
Bunyi sesungguhnya tak lagi penting. Yang penting adalah apa yang sampai di telinga pendengar dan bagaimana mereka menafsirkannya. Banyak hal mepengaruhi, antara lain, pengetahuan, pengalaman, trauma, kebiasaan, pengaruh lingkungan, kebudayaan, dan sebagainya.
Ini tak hanya terjadi dalam urusan mendengar suara. Ini bisa terjadi dengan cara kita melihat sesuatu. Cara menafsir film yang sama-sama kita tonton. Dalam konteks yang lebih kompleks, cara kita memahami satu peristiwa atau dunia.
Tafsir terhadap sesuatu melahirkan penamaan yang khas dan berbeda. Kita tentu mengenal Siti Aminah (ibu nabi), Siti Aisyah (istri nabi), juga Siti Hawa (perempuan pertama). Awalnya mungkin banyak mengira Siti adalah penamaan dari Arab.
Padahal Siti berasal dari bahasa Jawa (pinjam dari Sanskerta) berarti bumi, yang merupakan penghormatan terhadap perempuan. Karena mereka menghormati perempuan-perempuan itu, orang Jawa sungkan hanya menyebut nama. Mereka harus menambahi Siti. Seolah Siti Aminah, Siti Aisyah, Siti Hawa, lahir dari rahim kebudayaan Jawa sendiri.
Inilah tafsir memberi pengaruh pada penamaan. Tentu kita percaya Tuhan yang menciptakan suara ayam berkokok. Masalahnya, suara seperti apa yang Tuhan ciptakan? Kongkorongok? Kukuruyuk? Cock-a-dooddle-doo? Cocorico?*** (O Gozali)