
SERAYUNEWS- Memahami perbedaan delik aduan dan delik biasa sangat penting bagi siapa pun yang bersentuhan dengan proses hukum, baik sebagai korban, pelaku, maupun praktisi hukum.
Dalam hukum pidana Indonesia, kedua jenis tindak pidana ini memiliki mekanisme penanganan yang berbeda, termasuk cara penuntutan, peran korban, hingga kewenangan negara dalam memproses perkara.
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan ulasan selengapnya mengenai definisi, jenis, contoh, dasar hukum, hingga implikasi praktis dari delik aduan dan delik biasa.
Penjelasannya disusun secara rinci dan mudah dipahami agar masyarakat dapat mengambil langkah hukum secara tepat.
Istilah delik merujuk pada setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dan diancam dengan sanksi pidana. Dalam KUHP, delik dibedakan menjadi dua kategori utama: Delik Aduan atau Klachtdelict dan Delik Biasa atau Gewoon Delict.
Perbedaan utama keduanya terletak pada bagaimana proses hukum dimulai dan siapa yang berwenang membuka penyidikan.
Delik aduan merupakan tindak pidana yang baru bisa diproses secara hukum ketika korban atau pihak yang dirugikan mengajukan laporan resmi.
Tanpa adanya laporan tersebut, polisi, jaksa, maupun aparat penegak hukum tidak berwenang mengambil tindakan, meskipun mengetahui tindak pidana sudah terjadi.
⦁ Proses hukum bergantung pada laporan korban.
⦁ Polisi tidak dapat memulai penyidikan tanpa pengaduan.
⦁ Laporan dapat dicabut dan proses hukum otomatis dihentikan.
⦁ Biasanya menyangkut hubungan pribadi dan tidak mengancam kepentingan umum.
Ada dua kategori delik aduan yang diatur dalam KUHP:
Korban wajib mengadukan seluruh pelaku tindak pidana. Jika ada satu pelaku yang tidak dilaporkan, kasus tidak dapat diproses.
Contoh: Perzinaan (Pasal 284 KUHP)
Hanya berlaku jika tindak pidana dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan keluarga tertentu dengan korban.
Contoh: Pencurian oleh anggota keluarga (Pasal 367 KUHP)
Beberapa pasal yang termasuk delik aduan antara lain:
⦁ Perzinaan (Pasal 284 KUHP)
⦁ Pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP)
⦁ Fitnah (Pasal 311 KUHP)
⦁ Penghinaan
⦁ Perbuatan cabul tertentu (Pasal 289 KUHP)
⦁ KDRT ringan
Catatan penting:
Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam delik aduan, korban memiliki hak istimewa untuk:
⦁ Mencabut laporan dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan dilakukan.
⦁ Jika laporan dicabut, proses hukum wajib dihentikan, karena kehilangan dasar penuntutan.
Jika korban tidak mengajukan aduan:
⦁ Hak mengadu gugur setelah 6 bulan untuk korban yang berada di dalam negeri.
⦁ Bagi korban di luar negeri, batas waktu diperpanjang hingga 9 bulan.
Berbeda dengan delik aduan, delik biasa adalah tindak pidana yang dapat diproses negara tanpa memerlukan laporan korban. Dalam delik ini, negara bertindak sebagai pihak yang berkepentingan menegakkan hukum demi menjaga ketertiban dan keselamatan masyarakat.
⦁ Polisi dapat langsung melakukan penyidikan setelah mengetahui ada tindak pidana.
⦁ Laporan korban bukan syarat wajib memulai proses hukum.
⦁ Pencabutan laporan tidak menghentikan perkara.
⦁ Biasanya menyangkut perbuatan yang merugikan masyarakat secara luas.
Delik biasa umumnya meliputi kasus-kasus berat atau yang mengganggu ketertiban umum, seperti:
⦁ Pembunuhan
⦁ Pencurian (kecuali dilakukan oleh keluarga dekat)
⦁ Perampokan
⦁ Penganiayaan berat
⦁ Penipuan
⦁ Tindak kekerasan
Dalam kasus-kasus ini, meskipun korban menolak melapor, penegak hukum tetap dapat memproses perkara.
Berikut perbedaan paling mendasar antara kedua jenis delik ini:
⦁ Proses penuntutan dimulai karena laporan korban.
⦁ Tanpa laporan, tidak ada penyidikan.
⦁ Negara dapat memproses tanpa laporan korban.
⦁ Penyidikan dapat berjalan dengan informasi awal dari masyarakat atau penemuan sendiri oleh aparat.
⦁ Korban berperan sebagai penentu jalannya perkara.
⦁ Korban memiliki hak untuk menghentikan proses melalui pencabutan pengaduan.
⦁ Peran korban terbatas pada kesaksian.
⦁ Pencabutan laporan tidak memengaruhi proses hukum.
⦁ Sifat pribadi, berdampak pada hubungan individu.
⦁ Tidak mengancam kepentingan umum secara langsung.
⦁ Sifatnya lebih serius, berpotensi merugikan masyarakat luas.
⦁ Negara wajib bertindak demi ketertiban umum.
⦁ Jika laporan dicabut, perkara otomatis berhenti.
⦁ Pencabutan laporan tidak berpengaruh.
⦁ Negara tetap memproses kasus sampai selesai.
Beberapa pasal penting dalam KUHP yang mengatur perbedaan kedua delik ini:
⦁ Pasal 1 ayat (1): Definisi tindak pidana.
⦁ Pasal 77 KUHP: Wewenang negara memproses tindak pidana tanpa menunggu laporan korban.
⦁ Pasal 82 KUHP: Ketentuan khusus tentang tindak pidana yang membutuhkan pengaduan.
Seorang korban merasa difitnah melalui media sosial. Polisi mengetahui kasus ini, namun tidak dapat bertindak sebelum korban melapor. Jika korban akhirnya mencabut laporan, proses hukum langsung dihentikan.
Seorang pelaku terekam CCTV mencuri barang di toko. Pemilik toko enggan melapor, tetapi polisi tetap dapat memproses kasus tersebut sebagai delik biasa karena merugikan kepentingan umum.
Jenis sanksi bergantung pada tindak pidananya masing-masing.
⦁ Pencemaran nama baik: penjara hingga 1 tahun 4 bulan
⦁ Penganiayaan ringan: penjara hingga 2 tahun 8 bulan
⦁ Pembunuhan: penjara maksimal 20 tahun atau seumur hidup
⦁ Pencurian: penjara maksimal 5 tahun
Sanksi delik biasa cenderung lebih berat karena dampak perbuatannya lebih luas.
Perbedaan antara delik aduan dan delik biasa terletak pada:
⦁ Syarat dimulainya proses hukum’
⦁ Peran dan hak korban
⦁ Dampak tindak pidana
⦁ Wewenang negara dalam penuntutan
Delik aduan membutuhkan laporan korban dan dapat dihentikan jika laporan dicabut. Delik biasa langsung dapat ditindak oleh negara tanpa laporan korban dan tidak bisa dihentikan oleh pencabutan aduan.
Memahami perbedaan ini membantu masyarakat mengambil langkah hukum secara tepat, terutama dalam kasus yang menyangkut hubungan pribadi, keluarga, atau tindak pidana yang merugikan kepentingan umum.