Focus group discussion (FGD) yang dilaksanakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) merekomendasikan cek fakta dan literasi informasi (sebelumnya disebut literasi berita) untuk masuk ke kurikulum sekolah. Rekomendasi itu muncul saat FGD hari kedua yang dilaksanakan di Patra Convention Hotel Semarang pada Jumat (3/6/2022).
Semarang, serayunews.com
Fasilitator FGD Rini Yustiningsih mengatakan, munculnya rekomendasi itu bermula dari dua kelompok dalam FGD tersebut. Kedua kelompok sepakat merekomendasikan cek fakta dan literasi informasi untuk dimasukkan ke kurikulum sekolah.
“Cek fakta dan literasi informasi wajib diberikan kepada semua siswa dari seluruh jenjang pendidikan serta menjadi kurikulum,” kata Rini yang juga Pemimpin Redaksi Solopos tersebut.
Rini menambahkan, untuk memasukkannya ke dalam kurikulum, beberapa hal juga sudah dipetakan para peserta. Langkah pertama adalah melakukan riset masalah dengan membuat pemetaan kesesuaian kurikulum cek fakta dan literasi informasi dengan melibatkan siswa, guru, dan stakeholders pendidikan.
“Selanjutnya, melakukan sosialisasi kepada stakeholders pendidikan. Kemudian, membuat FGD yang melibatkan berbagai pihak, termasuk anak-anak,” paparnya.
Setelah FGD dilakukan, Rini melanjutkan, langkah berikutnya adalah analisis kesesuaian kurikulum, kemudian menyusun perangkat kurikulum, bahan ajar, dan modul. Selanjutnya adalah kajian bedah modul, diikuti validasi dan uji pelatihan pada guru.
“Terakhir, validasi dan uji publik. Kurikulum ini juga berpeluang menjadi perda (peraturan daerah), baik level kabupaten/ kota atau provinsi,” katanya.
Diketahui, FGD tersebut melibatkan pelaku, pengamat, dan pengambil kebijakan pendidikan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Belasan peserta yang selama FGD dibagi menjadi dua kelompok.
Pada kesempatan itu, Dewi Sari yang bertindak sebagai fasiltator meminta para peserta mendata berbagai informasi keliru atau hoaks yang berkembang di sekolah, lalu mengategorikannya sebagai misinformasi atau disinformasi.
Misinformasi adalah informasi salah yang tersebar dan dipercayai kebenarannya. Sementara, disinformasi merupakan informasi tidak benar yang sengaja disebarkan untuk tujuan tertentu.
Berdasarkan temuan tersebut, Dewi pun meminta kedua kubu untuk menguji informasi dengan melakukan adopsi cek fakta dan literasi berita, kemudian mempresentasikannya ke hadapan seluruh peserta diskusi.
“Setelah dipresentasikan, peserta diberi waktu 20 menit untuk memetakan permasalahan ini serta membuat analisis SWOT. Mereka juga kami minta untuk memetakan langkah-langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya, kemudian diakhiri dengan membuat simpulan,” kata perempuan berjilbab yang juga dikenal sebagai Chief Operating Officer Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) itu.