SERAYUNEWS – Beberapa hari terakhir, warganet ramai membicarakan cuaca panas ekstrem yang terasa di berbagai daerah, termasuk Banyumas, Semarang, dan Yogyakarta.
Suhu udara yang mencapai 33 hingga 36 derajat Celsius membuat banyak orang merasa gerah dan penasaran: sampai kapan kondisi ini akan berlangsung?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akhirnya memberikan penjelasan ilmiah mengenai fenomena ini.
Menurut lembaga tersebut, panas yang terasa beberapa hari terakhir bukanlah gelombang panas, melainkan dampak dari posisi semu matahari yang tengah melintas di sekitar garis khatulistiwa.
Fenomena ini memang rutin terjadi setiap tahun pada September hingga Oktober, saat posisi matahari bergerak dari belahan bumi utara ke selatan.
Karena posisinya tepat di atas wilayah ekuator, sinar matahari jatuh lebih tegak lurus ke permukaan bumi, menyebabkan intensitas radiasi meningkat dan suhu udara terasa lebih tinggi dari biasanya.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa panas yang dirasakan masyarakat merupakan bagian dari perubahan posisi matahari.
“Saat ini kenapa terlihat panas? Karena di sisi selatan matahari sekarang itu sudah bergeser di selatan wilayah Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, pergeseran ini juga menyebabkan berkurangnya pertumbuhan awan hujan (Cumulonimbus) di beberapa wilayah, terutama di Pulau Jawa bagian selatan.
Tanpa keberadaan awan, sinar matahari langsung mengenai permukaan bumi tanpa penghalang, membuat udara semakin panas.
Selain itu, kondisi udara yang relatif kering membuat pembentukan awan tebal sulit terjadi.
Hasilnya, suhu udara pada siang hari terasa menyengat, sementara malam harinya justru terasa lebih sejuk karena kehilangan radiasi panas lebih cepat.
Fenomena cuaca panas saat ini terjadi bersamaan dengan periode pancaroba, yakni masa peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan.
Pada fase ini, cuaca cenderung tidak menentu—siang hari terasa sangat panas, tetapi hujan bisa turun mendadak pada sore atau malam hari.
BMKG menyebut, pancaroba biasanya ditandai dengan penurunan kelembapan udara dan ketidakstabilan atmosfer.
Kondisi ini memicu munculnya awan cumulonimbus, yang bisa menyebabkan hujan disertai petir atau angin kencang di beberapa daerah.
Dari data BMKG, sebagian wilayah Indonesia sudah mulai memasuki awal musim hujan 2025/2026, meskipun belum merata.
Wilayah Sumatera dan Kalimantan menjadi daerah pertama yang mulai diguyur hujan sejak September 2025, sementara Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara masih menunggu giliran.
Menurut Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, puncak musim hujan diperkirakan akan terjadi pada Desember 2025 hingga Februari 2026.
“Nanti di Desember, Januari, Februari itu sudah serentak,” ujarnya.
Artinya, cuaca panas di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa, akan berangsur menurunseiring datangnya musim hujan secara merata pada akhir tahun ini.
Dari 699 Zona Musim (ZOM) yang dipantau BMKG, tercatat:
Dengan data tersebut, bisa disimpulkan bahwa cuaca panas ekstrem di Jawa Tengah dan DIY akan berkurang secara bertahap mulai akhir Oktober hingga November 2025.
Berdasarkan pantauan BMKG pada Kamis, 16 Oktober 2025, berikut prakiraan suhu di beberapa kota utama di Jawa Tengah dan DIY:
Suhu maksimum memang masih relatif tinggi, namun potensi awan hujan mulai meningkat terutama pada sore hingga malam hari.
BMKG juga memperkirakan sebagian wilayah Jawa akan mulai mengalami hujan ringan hingga sedangdalam beberapa hari ke depan.
Sambil menunggu musim hujan datang, Anda bisa melakukan beberapa langkah sederhana untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan di tengah cuaca terik:
Selain itu, penting juga untuk memantau informasi resmi dari BMKG melalui situs atau media sosial mereka agar selalu mendapatkan pembaruan terbaru soal cuaca dan potensi hujan di wilayah Anda.***