Ini adalah cerita Hoegeng Imam Santoso, Kapolri legendaris yang namanya redup di masa Orde Baru. Kiprah Hoegeng di masa lalu kemudian jadi pembicaraan massif setelah Orde Baru tumbang. Hoegeng dikenal karena kekuatan prinsipnya.
Cerita Hoegeng ini dinukil dari kesaksian mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang tertera dalam buku “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif para Pemimpin Bangsa” tulisan Aris Santoso dkk.
Sebelum bercerita tentang kesaksian Ali Sadikin, sedikit latar bahwa Hoegeng adalah Kapolri pada tahun 1968 sampai 1971. Lelaki kelahiran Pekalongan pada 1921 ini telah berpulang pada 2004 lalu. Selain menjadi Kapolri, Hoegeng juga pernah menjadi Kepala (kini Dirjen) Imigrasi tahun 1960. Beberapa sumber menyebut nama lengkap Hoegeng sebagai Hoegeng Iman Santoso. Jadi, ada yang menulis Imam dan ada yang menulis Iman.
Ali Sadikin adalah teman dekat Hoegang. Ali bercerita bahwa Hoegeng adalah orang yang memegang prinsip yang kuat. Pada tahun 1960 ketika Hoegeng diangkat sebagai Dirjen Imigrasi, langkah pertama Hoegeng cukup mengejutkan. Dia mengharuskan istrinya menutup toko bunga di Cikini, Jakarta.
Hoegeng kemudian menjelaskan bahwa jangan sampai orang yang berurusan dengan keimigrasian membeli atau memesan bunga di toko istrinya itu. Jika itu terjadi maka tak adil bagi pemilik toko bunga yang lain. Hoegeng terlihat tak mau menggunakan kesempatannya sebagai pejabat untuk mengeruk keuntungan dari bisnis istrinya. Maka, Hoegeng memilih menutup bisnis istrinya.
Saat Sekretariat Negara ingin memberikan mobil dinas pada Hoegeng sebagai Dirjen Imigrasi, sang polisi jujur itu menolaknya. Hoegeng mengatakan bahwa dia sudah punya mobil dinas dari kepolisian. Sehingga, tak perlu lagi menerima mobil dinas ketika menjabat Dirjen Imigrasi.
Saat menjadi Menteri Iuran Negara di masa pemerintahan Soekarno, Hoegeng juga menolak rumah dinas yang besar di dekat jalan protokol. Dia memilih tetap menggunakan rumah kecilnya di Jalan Prof Muh Amin. Hoegeng berpandangan sekalipun rumah itu kecil, tapi sudah cukup untuk melaksanakan tugasnya sebagai menteri.
Ali bercerita bahwa Hoegeng juga menolak menerima gaji dalam status pensiun karena dipensiunkan dari jabatan Kapolri sebelum waktunya. Pencopotan Hoegeng di masa Presiden Soeharto itu memang memunculkan tanda tanya waktu itu.
Karena menolak menerima gaji Hoegeng dihadapkan pada situasi ekonomi yang sulit. Dia pernah tidak punya uang untuk membeli beras di bulan-bulan awal setelah diberhentikan sebagai Kapolri.
Diketahui, Hoegeng dan Ali adalah anggota Petisi 50. Petisi 50 adalah orang-orang yang berseberangan dengan Pemerintahan Soeharto. Orang-orang yang masuk dalam Petisi 50 mendapatkan kematian perdata. Di antaranya pemecatan dari pekerjaan sebagai pegawai negeri, dicegah tak boleh keluar negeri, tak boleh dapat kredit dari bank untuk berbisnis atau untuk bisnis anaknya, diisolasikan dari publikasi media.
Hoegeng yang juga doyan musik Hawaii itu pun dilarang tampil di TVRI. Sekadar diketahui Hoegeng aktif mengisi acara musim Hawaii di TVRI. Namun, karena keikutsertaan Hoegeng di Petisi 50, acara musik Hawaii di TVRI itu ditiadakan.
Ada banyak cerita tentang keteguhan prinsip Hoegeng. Dia rela tak mendapatkan banyak keuntungan karena prinsip kuatnya itu. Banyak yang berpandangan bahwa jika banyak pejabat seperti Hoegeng, maka akan membuat negeri ini jaya. (Kholil)