SERAYUNEWS – Mulai Januari 2025, pemerintah Indonesia akan menerapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus mendukung pembiayaan pembangunan.
Namun, perubahan ini juga memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat, pelaku usaha, dan ekonom.
Peningkatan tarif PPN ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021.
Salah satu pasal dalam UU tersebut mengamanatkan kenaikan tarif PPN secara bertahap, dimulai dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dan kini menjadi 12% pada 2025.
Langkah ini bertujuan untuk menyesuaikan tarif pajak Indonesia dengan rata-rata global serta memperkuat stabilitas fiskal nasional.
1. Beras premium
2. Buah-buahan premium
3. Daging premium, seperti wagyu dan kobe
4. Ikan premium, seperti salmon dan tuna premium
5. Udang dan crustacea premium, seperti king crab
6. Jasa pendidikan premium, seperti layanan pendidikan mahal dan berstandar internasional
7. Jasa pelayanan kesehatan medis premium atau VIP
8. Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 hingga 6.600 VA.
Pemerintah masih memberikan pengecualian pajak pada beberapa kategori barang dan jasa tertentu. Berikut beberapa di antaranya:
Komoditas yang Bebas PPN
Beberapa jenis barang pokok dan jasa strategis tidak akan dikenakan PPN. Komoditas tersebut mencakup:
1. Beras
2. Daging
3. Ikan
4. Telur
5. Sayur
6. Susu
7. Gula konsumsi
8. Jasa pendidikan
9. Jasa kesehatan
10.Jasa angkutan umum
11. Jasa tenaga kerja
12. Jasa keuangan
13. Vaksin polio
14. Pemakaian air bersih.
Bagi masyarakat umum, kenaikan tarif PPN berarti harga barang dan jasa akan sedikit meningkat, terutama untuk produk atau layanan yang tidak masuk dalam kategori bebas pajak. Berikut beberapa potensi dampaknya:
Petisi Demo Tolak Kenaikan PPN 12% di Indonesia
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku mulai Januari 2025, telah memicu gelombang protes dari masyarakat dan berbagai elemen masyarakat sipil.
Petisi dan aksi demo yang menolak kebijakan ini bermunculan di berbagai daerah, menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap langkah tersebut.
Petisi dan aksi demonstrasi menolak kenaikan PPN 12% mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan ini.
Pemerintah diharapkan mendengar aspirasi publik dan mencari solusi terbaik yang tidak hanya meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga melindungi kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok rentan.
Sebelumnya, PPN yang diberlakukan di Indonesia sebesar 11%. Meski hanya naik sebesar 1%, tetapi disinyalir akan ada banyak perubahan terkait dengan harga berbagai barang dan jasa di Indonesia serta UMKM.
Adapun pemerintah juga berencana akan menyiapkan beberapa stimulus ekonomi yang bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Stimulus ekonomi yang dimaksud adalah berupa pemberian tarif pajak rendah untuk UMKM hingga bantuan pangan serta diskon tarif listrik 50%.
Namun, hingga kini, pro dan kontra terkait kebijakan kenaikan PPN 12% yang akan diberlakukan mulai Januari 2025 masih bergulir di masyarakat khususnya di media sosial.
***