SERAYUNEWS – Desember adalah bulan penuh kenangan bagi persahabatan antara Prabowo dan Soe Hok Gie (Gie).
Di bulan Desember, Gie meninggal dalam dekapan Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember, persis satu sebelum hari ulang tahunnya yang ke-27 tahun.
Gie meninggal muda dengan memakai sepatu lars yang dipinjamkan Prabowo.
Kabar meninggalnya Gie sampai ke telinga Prabowo. Keesokan pagi harinya, Prabowo mengayuh sepeda ke rumah Gie. Dengan tergopoh-gopoh, dia mencari Gie.
“Om, Gie mana?” tanyanya kepada Papa Gie.
Di bulan Desember inilah terjadi perpisahan persahabatan mereka. Jelas akan dikenang seumur hidup oleh Prabowo, terlebih sebenarnya Prabowo minta ikut rombongan Gie naik gunung. Tapi Gie menolak. Alasannya Prabowo masih terlalu muda.
Gie hanya pinjam sepatu lars berkualitas untuk naik gunung yang saat itu tak banyak orang bisa memilikinya.
Awal persahabatan Prabowo dan Gie sebenarnya dimulai saat Gie bergabung dalam proyek yang digagas oleh Ayahnya Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo. Proyek yang mengajak sejumlah sarjana untuk menjadi sukarelawan pembangunan.
Saat itu walau sudah menjadi aktivis senior Universitas Indonesia dan sekaligus pengajar, Gie tidak keberatan dengan kehadiran Prabowo yang muncul jadi sosok pemimpin di program tersebut.
Gie tak lama menjadi bagian dari Pioneer Corps itu. Ia keluar, akibat tak menemukan konsepsi yang jelas dari organisasi yang dia anggap seperti papan catur.
Dalam pemikiran pragmatis, karena Gie berperan menumbangkan rezim Orde Lama, harusnya menikmati hasil perjuangannya dengan bergabung di rezim Orde Baru yang saat itu Soemitro memegang peran strategis. Tetapi itu tidak terjadi dengan Gie, dia tetap tegak pada idealismenya.
Orang-orang di sekeliling Soemitro dia cibir sebagai “Kelompok Salon.” Tak hanya itu, Kepada teman-temannya yang masuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Rotong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kala itu, Gie mengirimkan lipstik (guna pemulas bibir di hadapan penguasa) dan cotton bud (korek kuping, guna tuli terhadap amanat penderitaan rakyat).
Gie memang ‘manusia di persimpangan jalan’, baik persimpangan sejarah, perimpangan ideologi, hingga persimpangan rezim. Gie terlalu Indonesianis. Ia bersekutu dengan hutan, angin, dan langit, ketika mendaki gunung demi gunung.
Tak mudah memang untuk bersahabat dengan Gie jika tidak masuk sirkel-nya Gie. Kakak kandung Gie, Soe Hok Djin (Arief Budiman) sendiri mengaku tidak akrab dan jarang bertegur sapa dengan adiknya itu.
Walau begitu, Prabowo mampu bersahabat dengan Gie sampai maut memisahkan mereka. Bagi Prabowo, sikap Gie sangat dia maklumi karena memang Gie hidup dalam kultur akademis.
Bagaimana dengan sikap Gie terhadap Prabowo?
“Bagi saya, Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya. Ia cepat menangkap persoalan- persoalan dengan cerdas, tapi naif… (Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, 25 Mei 1969).
Mungkin benar kata Gie, itu sebabnya Prabowo sekarang senang joget gemoy karena memang saat muda dia kehilangan horizon romantiknya, hidup dengan penuh keseriusan.
Wajar jika kemudian ada yang melabelkan Prabowo dengan “politik riang gembira.”
Saat ini Gie telah berbaring dengan tenang Museum Taman Prasasti, Jakarta yang dulu dikenal sebagai kompleks pemakaman Kebon Jahe Kober.
Museum ini mengoleksi 993 nisan dari banyak tokoh penting era pemerintahan Hindia Belanda.
Sebuah patung malaikat perempuan tampak berdiri di atas nisan yang hanya bertuliskan nama Soe Hok Gie, tanggal kelahiran, dan tanggal kematiannya, serta kutipan “Nobody knows the troubles I see; nobody knows my sorrow” (tak ada yang mengerti masalah yang saya lihat; tak ada yang mengerti kesedihan saya).*** (O. Gozali)