SERAYUNEWS — Anggota tim ahli cagar budaya (TACB) Banjarnegara Widi Hidayati yang guru Sosiologi SMAN 1 Bawang, mengungkapkan empat objek berada di Museum Kailasa Dieng. Objek itu memiliki kekhasan serta keunikan sehingga perlu segera ditetapkan menjadi benda cagar budaya.
“Keberadaan arca Harihara dimungkinkan menjadi tanda terjadinya sinkretisme antara sekte Saiwa dan sekte Waisnawa. Arca Nandisawahanamurti merupakan penggambaran Siwa bersama Nandi yang merupakan wahananya. Cara menggendongnya juga cukup unik, yaitu seperti orang menunggangi kuda. Penggambaran arca semacam ini sampai saat ini hanya ditemukan pada wilayah Dataran Tinggi Dieng,” kata Widi, Kamis (14/6/2024).
Adapun tentang arca Siva Trisirah, Widi mengungkapkan arca tersebut masih menunjukkan prabavanya sebagai sebuah arca kuno yang sangat istimewa. Yang menarik dari Prasasti Mangulihi yang berasal dari penetapan sebuah sima di satu desa yang bernama Mangulihi. Hal itu menjadi bukti kemampuan masyarakat Banjarnegara ketika itu mengenali aksara dan bahasa Jawa Kuno.
“Prasasti ini unik karena dalam sebuah batu terdapat tiga prasasti. Prasasti Mangulihi mungkin berhubungan dengan salah satu candi yang ada di Kawasan Dieng. Tentunya, berdasarkan pada masa pendirian candi-candi di kawasan tersebut pada abad VIII-IX Masehi. Tahun yang terdapat dalam prasasti berada pada masa kekuasaan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 Masehi),” kata Widi.
Menurut Widi, prasasti Mangulihi juga mengungkap beberapa nama desa pada masa kerajaan Mataran Kuno. Nama desa yaitu Mangulihi, Hawang, Tiruan, Guru Pawang, Bihatu, Pangiribwan, dan Kunang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu telah terbentuk sistem pemerintahan. Juga terdapat beberapa jabatan keagamaan seperti pendeta, parujar (pembicara dalam upacara penetapan sima), dan likhita (penulis prasasti di atas daun lontar). Sebutan pemimpin penetapan sima yaitu Dang Hyang Guru Bhu, seseorang yang menetapkan sima yaitu Sang Wka. Keterangan lain yang dapat diungkap dari prasasti ini yaitu sistem pertanahan yaitu terdapat bangunan suci yang tanahnya bebas pajak, serta pengelolaan keuangan bangunan suci, serta tanah yang tidak bebas pajak. Serta keterangan peristiwa pemindahan tanah perdikan atas sebuah bangunan suci untuk menghormati leluhur (Dharma Pitamaha).
Aggota TACB Banjarnegara lainnya, Siti Nurlela, mengungkapkan bahwa bangunan yang akan ditetapkan di Banjarnegara, utamanya bangunan bergaya Indis. Saat ini kondisinya terancam rusak dan punah karena rata-rata berusia lebih dari 100 tahun.
“Kita lihat kembali, atap eks Stasiun Banjarnegara juga beberapa genting runtuh dan hilang. Semoga dengan penetapan ini nantinya, pihak pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya lebih memperhatikan perawatan bangunan. Dengan ditetapkan sebagai cagar budaya, nantinya nilai sebuah bangunan kita harapkan menjadi lebih tinggi pemanfaatannya,” kata Siti.