SERAYUNEWS– Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menebar sensasi memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme. Persis dengan yang terjadi di Amerika Serikat dengan Trumpisme.
Trumpisme berprinsip siapapun Presidennya, arah kebijakan dan sikap baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump.
Padahal sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS. Bukankah sama dengan Jokowi?
Gagasan Jokowisme PSI unggah di akun media sosial mereka pada Jumat (12/5/2023). Keterangan menyebutkan bahwa Jokowisme adalah sebuah paham progresivitas Indonesia menuju sebuah negara bangsa yang maju, berkeadilan dan berdaulat dalam makna yang sesungguhnya
Wasekjen PSI Dedek Prayudi lebih lanjut mengajak seluruh pendukung Jokowi untuk menggemakan sebuah paham yang disebut Jokowisme.
Sejalan dengan itu, PSI kemudian melempar isu Jokowi menjadi Ketua Koalisi Partai Pendukung yang posisinya diatas Ketua Partai. Wakil Ketua Dewan Pembina, PSI Grace Natalie, menyampaikan hal ini.
Menurut Grace, Presiden Joko Widodo semestinya menjadi sosok yang berada di atas semua partai politik. Grace mengungkapkan, ada usul dari Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovannie agar Jokowi dapat memimpin koalisi partai politik yang punya kesamaan visi menuju Indonesia emas.
“Saya pikir ide bagus juga, Pak Jokowi mungkin bisa jadi ketua dari koalisi partai-partai, semacam barisan nasional, partai-partai mau melanjutkan atau punya visi yang sama menuju Indonesia emas,” kata Grace dalam program Gaspol! Kompas.com, Minggu (10/3/2024).
Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menilai pernyataan Grace sebagai pernyataan yang menyesatkan dan meeusak demokrasi.
“Narasi Grace Natalie yang bersumber dari Jefry Geovani itu narasi yang aneh, tidak berdasar dan menyesatkan,” kata Ubedilah (12/3/2024).
Karena, kata Ubedilah, dalam sistem pemerintahan presidensial, hakikat pemimpin koalisi adalah presiden terpilih, bukan mantan presiden. Bahkan, sambung dia, narasi Grace juga tidak berdasar, bahwa yang bisa menjembatani semua Parpol dan mempersatukan partai-partai itu adalah Jokowi.
“Narasi itu aneh, karena faktanya justru Joko Widodo biang persoalan. Sebab, dengan partai yang membesarkannya saja berkhianat, hingga membuat PDIP terbelah arah politiknya,” tegas Ubedilah.
Tak hanya itu. Menurut Ubedilah, pernyataan Grace juga menyesatkan, karena akan membawa Indonesia makin tersesat di kerangkeng personal yang ambisius, yang ingin berkuasa terus, meski sudah bukan presiden.
“Ini merusak praktik demokrasi,” tegas Ubedilah.
Sementara itu, Said Didu menyebut usulan itu akan membuat sistem politik Indonesia mirip dengan China atau Tiongkok.
“Ini usulan untuk membentuk dan menunjuk Jokowi semacam politbiro seperti di China,” kata Said Didu dalam cuitan akun X @msaid_didu, Selasa (13/3/2024).
Politbiro atau biro politik sendiri merupakan adalah organisasi eksekutif untuk beberapa partai politik, terutama partai komunis. Beberapa negara bekas Uni Soviet dan China mengadopsi sistem ini.
Jokowisme dengan wujud Ketua Koalisi Partai pada akhirnya merupakan wujud politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.
Demagog dari luar terlihat sebagai seorang pahlwawan yang menperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaannya.*** (O Gozali)