
SERAYUNEWS – PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) kembali menjadi sorotan publik setelah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menjatuhkan sanksi penghentian sementara operasional pada Sabtu (6/12/2025).
Langkah ini menimbulkan pertanyaan baru dari masyarakat: PT NSHE milik siapa, dan apakah benar perusahaan ini berkaitan dengan banjir besar yang melanda Tapanuli Selatan?
Perhatian publik terhadap NSHE semakin meningkat menyusul bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara pada Desember 2025.
Berdasarkan laporan terbaru dari BNPB dalam Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat Tahun 2025 per Kamis (11/12), jumlah korban meninggal di Sumatera Utara mencapai 340 jiwa, korban hilang 128 jiwa, dan luka-luka 651 jiwa.
Dari jumlah itu, 85 korban meninggal berasal dari Tapanuli Selatan, wilayah yang juga menjadi lokasi proyek PLTA Batang Toru yang dikembangkan oleh PT NSHE.
Secara keseluruhan, lebih dari 11,2 ribu rumah mengalami kerusakan, serta 18 kabupaten terdampak banjir dan longsor.
Infrastruktur publik juga rusak parah, termasuk 80 fasilitas umum, 60 fasilitas pendidikan, 19 rumah ibadah, dan 121 jembatan.
Tragedi besar ini membuat banyak pihak menyoroti struktur kepemilikan dan operasional PT NSHE.
PT North Sumatera Hydro Energy merupakan perusahaan yang fokus pada pengembangan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Saat ini, NSHE menjadi pengembang utama PLTA Batang Toru, pembangkit listrik yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN).
PLTA Batang Toru berlokasi di Sungai Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Berdasarkan temuan Mighty Earth, organisasi lingkungan internasional yang tergabung dalam Koalisi Indonesia untuk Batang Toru, nama Shen Decai tercatat sebagai Direktur Utama PT NSHE.
Secara korporasi, PT NSHE dimiliki oleh tiga konsorsium utama:
PLTA Batang Toru juga merupakan bagian dari program peningkatan kapasitas listrik nasional sebesar 35.000 MW yang diluncurkan pada 4 Mei 2015.
Dari total itu, 10.000 MW dikelola oleh PLN dan 25.000 MW dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP) seperti NSHE.
Proyek ini dirancang untuk menyuplai listrik sebesar 510 MW kepada PLN selama masa kontrak selama 30 tahun.
Pada awalnya, proyek PLTA Batang Toru direncanakan memperoleh pendanaan dari Bank Dunia.
Namun, lembaga itu mundur setelah kajian multidisiplin mengindikasikan adanya potensi dampak lingkungan yang signifikan.
Setelah itu, Bank of China maju sebagai pemberi pinjaman utama dengan nilai investasi mencapai 1,6 miliar dolar AS, atau sekitar Rp21 triliun.
Dana tersebut disebut sebagai bagian dari inisiatif One Belt One Road (OBOR) Tiongkok.
Pelaksana engineering, procurement, and construction (EPC) proyek ini dipegang oleh Sinohydro, perusahaan konstruksi milik negara Tiongkok yang berpengalaman dalam pembangunan infrastruktur air di berbagai negara.
Menjawab spekulasi publik mengenai kaitan perusahaan dengan banjir besar di Tapanuli Selatan, KLH melakukan inspeksi udara dan darat di kawasan hulu DAS Batang Toru dan Garoga.
Inspeksi dilakukan untuk memeriksa potensi kontribusi aktivitas usaha terhadap risiko banjir dan longsor, memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar lingkungan, sekaligus menilai tekanan ekologis yang terjadi.
Hasil awal inspeksi membuat KLH memutuskan menutup sementara beberapa perusahaan, termasuk PT NSHE.
Dalam pernyataan resmi, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH/BPLH, Rizal Irawan, menyampaikan:
“Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit. Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar. Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara,”
Kementerian juga menegaskan akan melakukan penegakan hukum jika terbukti terdapat pelanggaran yang memperbesar risiko bencana.
Langkah ini tidak hanya ditujukan kepada PT NSHE, tetapi juga seluruh perusahaan yang diduga memberi tekanan signifikan terhadap lingkungan di kawasan tersebut.
Banjir bandang dan longsor di Tapanuli Selatan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor.
Para ahli lingkungan menyebutkan bahwa kondisi ekosistem di hulu DAS Batang Toru sudah mengalami tekanan besar sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa faktor pemicu yang sering disebut meliputi:
Dalam konteks itu, proyek besar seperti PLTA Batang Toru memang harus menjalani evaluasi ketat, mengingat lokasinya berada di salah satu kawasan hutan paling sensitif di Sumatera Utara.
KLH menegaskan bahwa penghentian sementara adalah tindakan preventif untuk meminimalkan risiko bencana berulang.***