SERAYUNEWS– Dulu, Desa Lengkong dan sekitarnya merupakan desa penghasil bunga melati gambir. Jika melintasi jalan raya Purbalingga-Banjarnegara di Kecamatan Rakit, saat memasuki desa Badamita hingga Lengkong akan langsung tercium aroma bunga melati. Namun, sejak beberapa tahun ini, kebun melati telah disulap menjadi kebun atau sawah hanya menyisakan sepetak dua petak kebun melati yang tersisa.
Melati gambir atau Jasminum officinale adalah spesies tumbuhan berbunga dalam keluarga zaitun Oleaceae. Melati gambir ini asli Kaukasus dan sebagian Asia, juga dinaturalisasi secara luas.
Petani melati gambir mulai meninggalkan atau beralih ke tanaman lain. Sebab, hasil yang diperoleh dianggap sangat merepotkan karena harus berpacu dengan waktu.
Boniah (58) pemetik bunga melati gambir asal Desa Lengkong Rakit Banjarnegara memberikan penjelasannya. Dia mengatakan, bunga melati dipetik harus di bawah jam 12 siang karena jika melewati jam itu, kuncup akan mekar.
“Yang dipanen adalah kuncup bunga yang akan mekar. Jika sampai mekar, bunga tidak dibeli pengepul. Selain itu, jika jam 12 belum selesai petik akan ditinggal oleh pengepul,” katanya.
Harganya, jika kering per kilogramnya Rp28 ribu. Sedangkan bunga basah dihargai Rp18 ribu per kilogramnya. Menurut Boniah, butuh ketelatenan dan kesabaran saat petik bunga agar bunga tidak rusak saat dipetik dan hasilnya banyak.
“Petiknya kudu dengan rasa gembira agar bunga mudah dipetik dan selalu kelihatan oleh mata si pemetik. Jika sedih, bunga seperti hilang dari pandangan,” katanya.
Menurut Boniah, di wilayah Lengkong dan Badamita, grumbul tanaman teh gambir sudah nyaris hilang atau berganti tanaman. Pemilik tanaman atau pemetik mungkin sudah tidak kuat lagi dengan ritme petik dan setoran bunga kepada pengepul yang sangat cepat. “Saat ini sudah jarang generasi muda meneruskan usaha melati gambir,” katanya.
Darsono, petani asal Lengkong mengatakan masa kejayaanya itu sekitar tahun ’80an ditandai dengan berhektr hektar grumbul melati gambir. “Dahulu nanam melati, setiap hari akan menghasilkan uang, karena panen tiap hari,” katanya.
Saat ini, kata dia, sebagian besar warga yang dulu menjadi pemilik sekaligus pemetik melati, maka kini hanya segelintir orang saja yang masih mau menanam dan memetik melati.