SERAYUNEWS– Ribuan sopir truk dari berbagai daerah memadati ruas jalan nasional. Mereka bukan sedang berebut order, apalagi menciptakan kekacauan.
Tak hanya di ibu kota, aksi para sopir truk juga terjadi di beberapa daerah, salah satunya di wilayah Banyumas Raya. Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan satu hal: keadilan ekonomi yang kian timpang.
Spanduk dan poster bertuliskan “Kami Bukan Kriminal”, hingga “Gerakan Sopir Se-Indonesia Menggugat” mewarnai aksi damai yang mengguncang opini publik.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy dalam artikelnya menyebut, ada ironi dalam pengambilan keputusan pemerintah yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Di tengah gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Lalu Lintas yang di dalamnya mengatur Over Dimension Over Load (ODOL), masyarakat menyaksikan ironi yang menyakitkan.
Yakni, negara begitu cepat menindak sopir yang kelebihan muatan, tetapi lamban memberantas korupsi dan menyita aset para pelakunya. UU yang mengatur ODOL segera pemerintah golkan, sementara UU Perampasan Aset Koruptor tak kunjung pemerintah sahkan meski sudah diajukan sejak 2006.
ODOL mengacu pada kendaraan yang melebihi batas muatan atau ukuran sesuai ketentuan. Pemerintah berdalih, penegakan aturan terkait ODOL penting demi keselamatan, efisiensi transportasi, dan perlindungan infrastruktur.
Namun di lapangan, sopir justru menjadi tumbal dari kebijakan ini. Padahal, pemilik barang dan perusahaan kerap memaksa truk membawa muatan lebih. Saat aparat melakukan razia, sopir yang ditangkap dan dihukum. Bukan pemilik modal. Tak sedikit sopir yang masuk penjara hanya karena mematuhi instruksi bosnya.
Padahal lebih dari 70% distribusi logistik nasional bergantung pada jasa sopir, menurut Asosiasi Logistik Indonesia (ALI).
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menyebut, data LPEM FEB UI Tahun 2021 mencatat, biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% dari PDB, tertinggi di kawasan ASEAN.
Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakefisienan sistem transportasi, termasuk ketidakjelasan pengaturan kendaraan ODOL.
Alih-alih membenahi sistem logistik dan hubungan kerja antara sopir dan perusahaan, aturan terkait ODOL justru dianggap menambah beban bagi sopir, kelompok paling rentan dalam rantai pasok nasional.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menilai ironi lain muncul ketika publik membandingkan nasib sopir dengan para koruptor.
Meski RUU Perampasan Aset Koruptor telah diajukan hampir dua dekade lalu, hingga kini belum juga disahkan. Padahal, ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp40 triliun pada 2023.
Sementara itu, sopir bisa langsung dipenjara hanya karena membawa muatan berlebih 2 ton. Ketimpangan ini memperlihatkan ketidakadilan sistem hukum Indonesia, yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Melalui Gerakan Sopir Se-Indonesia dan Team ST.L Pilot Darat, para sopir menyuarakan tujuh tuntutan utama:
1. Batalkan Instruksi Terkait ODOL
Hentikan penegakan hukum yang menyasar sopir alih-alih pemilik usaha logistik.
2. Tegakkan Regulasi Logistik yang Adil
Tetapkan aturan jelas tentang dimensi truk, tanggung jawab hukum, dan hubungan kerja.
3. Perjuangkan Kesejahteraan Sopir
Sediakan jaminan sosial, asuransi, dan kepastian kerja.
4. Lindungi Sopir Secara Hukum
Jangan jadikan sopir kambing hitam kebijakan negara.
5. Revisi UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009
UU tersebut dianggap usang dan tidak sesuai dengan realita logistik nasional. UU tersebut salah satunya mengatur tentang ODOL.
6. Berantas Premanisme dan Pungli
Banyak sopir menjadi korban pungli di jalanan, dan aturan ODOL dinilai membuka celah penyalahgunaan.
7. Wujudkan Kesetaraan Perlakuan Hukum
Jangan biarkan rakyat kecil dipenjara, sementara koruptor hidup bebas dan mewah.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menyebut, demo sopir bukan sekadar penolakan aturan tentang ODOL. Ini adalah simbol kegelisahan rakyat kecil yang merasa semakin tersisih.
Dia mengatakan, negara tak bisa terus-menerus galak terhadap pekerja lapangan namun lembek terhadap para elit pelaku korupsi.
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menyarankan, jika pemerintah ingin mengurangi ODOL, maka:
1. Benahi sistem logistik nasional.
2. Berikan insentif kepada perusahaan patuh aturan.
3. Pastikan sopir mendapatkan perlindungan hukum yang adil.
4. Dan yang lebih penting, sahkan UU Perampasan Aset Koruptor sekarang juga!
Jangan biarkan hukum hanya menjadi alat penindas rakyat kecil, sementara pencuri uang negara bebas menikmati hasil kejahatannya.
Dalam sistem ekonomi yang berkeadilan, hukum berpihak pada yang lemah dan menindak yang zalim. Sudah saatnya kebijakan tidak hanya dibuat dari balik meja, tapi juga mendengar jeritan yang keluar dari balik kemudi.