SERAYUNEWS – Deretan lagu Majelis Lidah Berduri hampir tidak pernah absen di linimasa, lirik dengan gaya teatrikal yang khas, kerap menjadi sebuah “statement” yang kuat dari story Instagram grassroots.
Menariknya, Heartcorner Collective berhasil memboyong “Joni dan Susi”, sepasang kekasih kaum marjinal dalam album naratif “Balada Joni dan Susi”, ke Purwokerto pada Minggu, 21 September 2025.
Ugoran Prasad, vokalis Majelis Lidah Berduri, mengisi Musyawarah Hujan Orang Mati di Hetero Space Banyumas—seperti biasa—dengan sangat apik.
Usai acara, Ugoran tak langsung pergi. Satu per satu penonton menghampiri, meminta foto, sekadar bersalaman, atau berbagi obrolan. Baru setelah kerumunan agak reda, ia menerima wawancara singkat.
Vokalis dari band musik yang sudah berdiri sejak 1999 tersebut, berbicara tentang perjalanan aktivisme mahasiswa, musik, hingga dinamika generasi yang menurutnya selalu punya cara baru untuk melawan.
“Aku dari tahun 1998, dari kasus Gejayan, sudah sangat terinspirasi sama generasi yang sekarang, dari generasi 1999 sampai generasi 2025,” ujar Ugoran.
Baginya, mahasiswa pasca-1998 justru menghadapi tantangan yang jauh lebih berat. Kampus, kata dia, sejak era BHMN sudah “dikebiri”.
Biaya kuliah kian tinggi, durasi studi makin panjang, dan ruang demokrasi di dalam kampus semakin menyempit.
“Angkatan 2000-an ke atas itu kampus sudah sangat beda. Anak-anak harus kuliah lima tahun, ongkos kuliah mahal banget, tapi mereka masih bisa mengorganisir, bisa berserikat, bisa turun ke jalan. Itu mengagumkan,” tegasnya.
Di mata Ugoran, generasi mahasiswa hari ini membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk bungkam. Justru dalam kondisi sulit, kreativitas perlawanan semakin menemukan bentuknya.
Menariknya, saat disinggung soal simbol-simbol perlawanan, Ugoran menyebut hal tersebut bukan sekadar ornamen, melainkan bahasa perlawanan itu sendiri.
“Saya pikir, menghargai betul bahasa dan ekspresi yang paling radikal, ekspresi yang paling resisten, ya di antara itu, terinspirasi dari Bu Anna dan Affan Kurniawan,” katanya.
Menurutnya, simbol semacam itu penting karena mengikat imajinasi bersama. Dari sana lahirlah narasi tandingan yang kuat, sebuah ekspresi yang tak mudah ditelan mesin propaganda.
Saat ditanya mengapa aparat kerap memakai cara-cara lama untuk menghadapi gerakan sipil yang terus berubah, Ugoran menjawab lugas.
“Bahwa tentara dan aparatnya keras, saya kira, karena ada preseden bahwa ini ada kebutuhan pemeranan militer yang harus lebih kuat. Mereka emang punya agenda, saya kira itu,” jawabnya.
Tak bisa dipungkiri, setiap perlawanan rakyat selalu berhadapan dengan militer. Ugoran menilai ada pola historis yang terus berulang.
“Kalau situasinya keos, tentara seolah selalu datang sebagai penyelamat. Itu memang pola sejarah,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa pola itu berbahaya jika berujung pada darurat militer. “Itu enggak akan baik buat siapapun,” tambahnya.
Pernyataan itu seakan mengingatkan bahwa suara kritis tak boleh berhenti, sebab kekuatan negara sering kali menunggu momentum untuk memperluas kendali.
Lebih lanjut, Ugoran juga berpendapat soal figur-figur yang muncul dari gerakan. Ia percaya penokohan tak terelakkan, tetapi lebih baik jika tokoh yang lahir berasal dari luar stereotip.
“Kenapa figur Bu Anna muncul, karena dia bagian dari mengikat imajinasi. Kita jadi ingat ibu kita, bibi kita, nenek kita, orang-orang yang resisten, negosiasi, dan mau membela orang lain,” jelasnya.
Tokoh semacam itu, menurutnya, lebih membumi dan mampu menyentuh rasa banyak orang. Gerakan pun tak lagi hanya milik kampus atau partai, melainkan milik keseharian.
Di era digital, perlawanan mahasiswa menghadapi tantangan baru: buzzer dan kampanye negatif. Ugoran mengaku, hal itu memang lebih sulit dihadapi dibanding masa lalu.
“Tapi saya kira tetap kelihatan. Kalau kita mau membaca dengan hati-hati dan teliti, kita bisa tahu apakah dia tokoh yang genuine atau tidak,” katanya.
Ia menekankan pentingnya kepekaan membaca realitas, agar tidak mudah terkecoh oleh narasi yang dikendalikan mesin media.
Di akhir wawancara, Ugoran menaruh harapan besar pada generasi Z. Ia percaya mereka memiliki peluang untuk menemukan strategi, taktik, bahkan moda pengorganisiran baru.
“Mungkin yang menarik dari peluang bahwa ini miliknya gen Z adalah karena mereka juga punya peluang untuk menemukan strategi mereka. Jadi, saya menunggu inspirasi dari mereka lebih jauh, agar mereka tetap semangat turun ke jalan,” pungkasnya.***