SERAYUNEWS – Apabila Anda sedang mencari renungan Harian Katolik Kamis 16 Oktober 2025, Anda bisa menyimak artikel ini sampai akhir.
Hidup beriman bukan hanya soal menjalankan aturan atau tradisi keagamaan, tetapi tentang bagaimana hati kita menanggapi kasih Allah setiap hari.
Bacaan hari ini mengajak Anda untuk merenungkan kembali makna iman yang sejatI, iman yang tumbuh dari relasi dengan Tuhan, bukan sekadar formalitas atau kewajiban rohani.
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita terjebak pada rutinitas rohani yang membuat iman terasa hambar.
Namun, melalui bacaan dari Roma 3:21-30 dan Lukas 11:47-54, kita diingatkan bahwa Allah menghendaki iman yang hidup dan tulus, bukan topeng kesalehan yang hanya terlihat di permukaan.
Renungan Kamis ini mengajak Anda untuk menelusuri lebih dalam: apakah hidup rohani Anda masih berakar pada kasih dan kejujuran, ataukah sudah tersesat dalam kemunafikan halus yang dikritik Yesus dalam Injil hari ini?
Mari bersama membuka hati dan belajar dari sabda Tuhan yang menuntun kita menuju iman yang sejati.
Bacaan I — Roma 3:21-30
“Tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan … yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan.”
Dalam bacaan ini, Rasul Paulus menegaskan bahwa kita tidak dibenarkan oleh tindakan kita yang sempurna, melainkan oleh iman pada Kristus.
Dia menyatakan, “manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”
Dalam kerangka ini, iman bukan sekadar kredo yang diucapkan, melainkan pengharapan yang menjiwai hidup sehari-hari.
Mazmur 130:1-2,3-4b,4c-6
“Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! … Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya.”
Mazmur ini menggambarkan jiwa manusia yang merasa terjerat dosa, lalu berseru kepada Allah, dan menanti dengan sabar pengampunan dan jawaban dari Tuhan.
Injil, Lukas 11:47-54
Yesus menghardik para pemimpin agama dengan kata-kata tajam: “Celakalah kalian, sebab kalian membangun makam bagi para nabi, padahal nenek moyangmulah yang telah membunuh mereka.”
Dia menegur mereka karena membangun monumen untuk para nabi, sementara para pemimpin masa lalu telah membunuh nabi-nabi itu sendiri.
Bahkan Yesus menyebut, “Kalian sendiri tidak masuk ke dalamnya, tetapi orang yang berusaha masuk kalian halang-halangi.”
Membongkar Kemunafikan, Inti Renungan
Kita membaca bahwa para pemimpin agama membangun makam untuk menghormati nabi-nabi, tetapi pada kenyataannya nenek-moyang mereka telah membunuh nabi-nabi tersebut.
Sebagai bentuk simbolisme, tugu makam ini bisa jadi hanya “kamuflase” yang menyembunyikan rasa bersalah mereka sendiri.
Yesus dengan berani membongkar kedok itu: Dia mengungkap kemunafikan mereka yang tampak taat di luar namun hatinya jauh dari kebenaran.
Ia menegur, mengutip: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu telah mengambil kunci pengetahuan; kalian sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk ke dalam kamu halang-halangi.” (Luk 11:52)
Pesannya jelas: kita diajak untuk jujur terhadap terang Allah, bukan hanya sekadar mempraktikkan ritual atau aturan tanpa makna batin.
Jika kita hanya tampil saleh secara lahiriah tetapi meminggirkan belas kasih, keadilan, dan pengampunan, kita berisiko jatuh dalam perangkap yang sama seperti yang dikritik Yesus.
Rasul Paulus mengingatkan kita: “manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”
(Rm 3:28) Iman bukanlah pelarian dari tindakan baik, melainkan landasan relasi dengan Allah yang menggerakkan tindakan itu sendiri.
Di sisi lain, ada kesalahpahaman yang menyatakan bahwa iman itu milik eksklusif satu kelompok atau agama.
Paulus juga menegaskan: “Ia juga Allah bangsa-bangsa lain!” (Rm 3:29) Kita diajak memahami Tuhan yang universal, tidak terbatas oleh etnis, suku, atau tradisi.
Karena itu, iman kita sepatutnya terus-menerus diperhalus: bukan sekadar “melakukan” sesuatu agar dianggap saleh, melainkan membangun karakter dan hati yang selaras dengan kehendak Allah.
Apakah praktik keagamaan kita berubah menjadi rutinitas kosong? Atau apakah setiap tindakan mengalir dari iman yang hidup dalam hati?
Dalam kalender liturgi, Kamis 16 Oktober juga mengenang Santo Gerardus dari Mayella, Santa Hedwiq, Santa Margaretha Maria Alacoque, dan Santo Gallus.
Mereka adalah teladan kesetiaan, doa, dan pelayanan dalam situasi kehidupan sehari-hari.
Misalnya, cerita Gerardus dari Mayella menunjukkan bahwa dari masa kanak-kanak hingga dewasa, ia berkembang dalam iman dengan rendah hati dan konsistensi, meskipun dalam dinamika hidup yang penuh tantangan.
Kisah hidup mereka mengingatkan kita bahwa iman bukanlah semata-mata di altar atau gereja, tapi dalam cara kita mempraktikkannya dalam pekerjaan, relasi, dan pengorbanan kecil sehari-hari.
1. Refleksi pribadi
Renungkan apakah ada area kehidupan Anda yang cenderung formalistik, melakukan ritual tanpa makna batin.
Apakah Anda membangun “monumen iman” yang tampak megah di luar, sementara hati Anda jauh dari keadilan dan kasih?
2. Uji iman dalam tindakan
Biarkan iman Anda menghasilkan buah: belas kasih, keadilan, kerendahan hati, kepedulian terhadap orang lain, bukan sekadar melaksanakan aturan.
3. Doa agar Roh Kudus membimbing
Mohon agar Allah menyingkap kemunafikan di hati Anda, memberi keberanian untuk menjadi saksi kebenaran, bukan hanya dari bibir tetapi dari hidup Anda.
4. Teladani kesetiaan para kudus
Mari belajar dari Santo Gerardus dan para kudus lain: iman tumbuh sedikit demi sedikit dalam kesetiaan sehari-hari.
Doa Penutup
Ya YESUS, bantulah aku dengan ROH KUDUS-Mu agar aku bisa menjadi penuntun bagi sesamaku. Berilah aku keberanian untuk menjadi saksi kebenaran dalam hidupku.
Santo Paulus dari Salib, kuatkan imanku pada YESUS, yang menderita sengsara dan tersalib. Amin.
Semoga renungan ini meneguhkan Anda dalam iman yang hidup, semakin mengarahkan hati dan tindakan kepada Kristus.***